SINOPSIS FILM
Asep sang anak tunggal harus menerima perjodohan yang diminta kedua orang tuanya. Laki-laki dari keluarga Sunda itu dijodohkan dengan gadis yang tidak ia sukai. Namun niat orangtuanya itu gagal karena Asep melarikan diri dari pernikahannya. Itu disebabkan oleh kedatangan seorang gadis cantik dari kota, dengan pakaian yang memerlihatkan keelokan tubuhnya.
Asep jatuh cinta dengan gadis kota bernama Farah itu. Farah rupanya terkena masalah. Ia dan teman-temannya menyalahi aturan di desa itu. Mereka datang dengan pakaian yang tak pantas, dan tanpa izin menggunakan desa untuk pengambilan foto.
Awalnya, Farah dan kawan-kawan hampir diusir oleh warga. Untungnya Asep menyelamatkan mereka. Ia memohon pada ibunya agar Farah diperbolehkan tinggal di rumahnya. Ibu Asep awalnya sangat marah, namun ia pun setuju saja demi membantu mereka.
Saat Farah kembali ke Jakarta, Asep selalu terbayang dirinya, hingga akhirnya Asep mengutarakan niatnya untuk menyusul Farah ke kota. Ibunya tak mengijinkan namun Asep nekad minggat ke Jakarta untuk mencari Farah.
Ia memang berhasil menemui gadis itu. Sayangnya, Farah seolah tak mengenal Asep. Ia bahkan malu dengan kedatangan Asep yang kampungan itu. Namun, demi membalas budi, ia menerima Asep dan membolehkannya tinggal di apartemennya.
Rupanya Asep belum mengerti bedanya budaya di desa dan kota. Lelaki polos itu tak bisa menempatkan sesuatu di tempatnya. Berkali-kali ia membuat Farah kesal karena itu. Meskipun Asep sering ada di saat Farah membutuhkan teman, Asep tetap sadar dan ia pun kembali ke kampung.
Asep tetap tak bisa melupakan Farah, meski Farah akhirnya menikah dengan laki-laki yang tak Farah cintai. Namun takdir berkata lain. Farah bercerai dengan lelaki itu, dan mendatangi Asep di kampung. Ia sadar, Asep lah yang benar-benar menyayanginya.
ANALISA
Dari film tersebut, beberapa konflik yang ada antara lain:
· Asep tidak ikhlas menerima perjodohan dengan gadis yang tak ia cintai itu. Bahkan ia nekad kabur dari pernikahannya demi mengejar perempuan lain. Ini mengisyaratkan masih adanya konsep perjodohan dalam masyarakat pedalaman, desa, atau pinggiran kota.
Konsep itu sayangnya dipandang beda oleh anak muda zaman sekarang. Bagi mereka, perjodohan itu kuno. Mereka merasa berhak memilih siapa yang akan menjadi pendamping mereka. Sedangkan para orang tua mereka beranggapan, orang tua lah yang tahu apa yang terbaik untuk anaknya.
Perbedaan perspektif ini yang menyebabkan Asep kabur dari pernikahannya, bahkan meskipun ia sudah mencoba mengomunikasikan keinginannya yang sebenarnya, ibu Asep tetap tak mengindahkannya.
Selain itu, ada kemungkinan budaya orang tua Asep berperan dalam membangun perspektif tersebut. Kemungkinan ibunya pun dulu dijodohkan dengan bapaknya, sehingga timbul kecenderungan mereka akan menjodohkan anak mereka, dan begitu seterusnya. Perjodohan macam ini masih ada di masyarakat modern, bagaimanapun dianggap kuno. Contohnya saja mereka yang berketurunan Arab, cenderung menjodohkan anaknya dengan sesama Arab agar keturunan Arab tersebut langgeng.
· Asep tumbuh di keluarga yang kental dengan nilai relijiusitas. Ia banyak berdoa dan mengingat Allah. Kekentalan nilai relijiusitas tersebut berhasil mempengaruhi budaya di diri Asep. Ia terbiasa berkata santun, baik hati, dan tulus. Identitas pribadinya pun mencerminkan nilai reliji tersebut, yaitu baju koko, celana panjang, dengan penutup kepala.
Farah memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat nilai relijiusitas. Asep begitu rajin melaksanakan solat, sementara Farah sudah tidak rajin lagi. Farah justru tumbuh sebagai pribadi yang mengamini nilai-nilai sekularitas. Ia banyak menghabiskan waktu untuk bekerja atau nongkrong dengan teman-temannya. Tak hanya di kafe, tapi juga diskotek. Identitas pribadinya tersebut memberi pengaruh pada caranya berpakaian, yaitu baju yang seksi.
Awalnya Farah tak peduli saat Asep solat di apartemennya. Namun lambat laun ia sadar, ia juga seorang muslim yang tahu bahwa seharusnya ia pun melaksanakan solat. Asep juga tak bosan-bosannya menasehati Farah, terkait dengan ketaatan melaksanakan perintah Allah. Meski Farah tampak cuek, namun di akhir film Farah berubah menjadi sosok yang terbuka dengan nilai-nilai relijius. Asep berhasil membuat gadis itu mengubah penampilannya menjadi lebih tertutup dan sopan.
· Ada beberapa nilai budaya khas yang dianut oleh masyarakat tertentu di tempat tertentu. Yang pertama, saat Asep hendak ke luar kota. Ia mengatakan niatnya untuk merantau, mencari pengalaman, dan bekerja. Ibunya tidak membolehkan. Menurutnya, Asep dipercaya oleh orang tuanya untuk harus menjaga dan membangun desa.
Kepercayaan semacam itu sudah menjadi budaya di beberapa daerah, meskipun yang banyak kita temui justru anak laki-laki lah yang harusnya pergi merantau untuk mencari penghasilan.
Selain itu, ada nilai lain yang khas dari desa Asep itu. Mereka percaya bahwa jika mengotori kampung itu, maka leluhur mereka akan murka dan masyarakat pun tertimpa bencana. Pernyataan itu keluar dari warga saat hendak mengusir Farah dan teman-temannya yang seenaknya masuk ke kampung dengan memakai baju yang serba terbuka. Hal itu bertabrakan dengan budaya desa yang sopan dan menjaga nilai relijius.
· Film ini juga menampilkan beberapa stereotype yang berperan menimbulkan konflik, antara stereotype terhadap orang kota, orang desa, dan kota Jakarta. Orang kota digambarkan sebagai individu-individu yang modern, canggih, cewek-ceweknya berkulit mulus terawat, dan lain-lain. Itu terlihat saat Farah dan teman-temannya berfoto ria di sungai desa.
Selain itu, orang kota juga cenderung individualis dan menjaga image. Hal itu digambarkan saat Asep menyambangi Farah di Jakarta. Farah bagai kebakaran jenggot saat mendapati Asep datang ke kantornya. Ia malu mengenalkan Asep di depan teman-temannya sesama model. Bahkan saat gadis itu berniat mengajak Asep keliling kota, teman-temannya tak ada yang mau menemani. Itu karena mereka malu harus pergi dengan orang seudik Asep, dan merasa bahwa itu urusan Farah, bukan urusan mereka.
Orang desa seolah seperti apa yang kita stereotype-kan. Mereka lugu, polos, kolot, apa adanya, dan kuno. Nilai-nilai nenek moyang atau leluhurnya masih mereka bawa, contohnya saat Asep hendak ke luar kota, atau ketika Farah dan teman-temannya ditegur di sungai kampung, seperti yang sudah diceritakan di poin sebelumnya.
Stereotype terakhir adalah tentang “budaya” di Jakarta. Film ini menunjukkan bahwa Jakarta adalah kota yang memiliki sensitivitas terhadap kata uang. Lihatlah saat Asep tiba di Jakarta. Ia baru saja memuji kemodernan kota itu, namun tiba-tiba dihampiri anak-anak yang mengemis uang padanya. Ketika Asep memberi anak-anak itu, pengemis lain berbondong menghampirinya dan meminta uang juga.
Sensitivitas terhadap yang juga dapat dilihat dari pencurian yang marak terjadi di Jakarta. Ini dapat dilihat ketika Asep hendak solat di masjid. Sayangnya, masjid tersebut sudah ditutup. Terjadi perdebatan antara ia dengan penjaga masjid. Menurut Asep, harusnya masjid yang merupakan rumah Tuhan buka 24 jam (salah satu cermin nilai relijiusitas yang dianutnya). Namun, takmir masjid membantahnya. Jika masjid itu ia buka 24 jam, maka pastilah banyak barang di masjid yang dicuri.
· Ada beberapa konflik pula yang timbul karena kurangnya pemahaman mengenai perbedaan budaya, dan pemahaman untuk menaruh satu hal sesuai dengan tempatnya. Ini terjadi antara lain ketika Asep memakai baju gamis panjang di kolam renang apartemen Farah. Ia terkejut saat melihat para perempuan yang ada di kolam rennag tersebut memakai baju renang yang serba mini dan terbuka. Asep sontak mengalihkan pandagannya dan menjerit-jerit berdoa kepada Allah. Ia pun dikira teroris oleh orang-orang sehingga ditangkap oleh sekuriti, hingga akhirnya bebas setelah Farah menemuinya.
Kesalahan kedua adalah ketika Asep khotbah di diskotek. Saat itu, Asep dinilai berpenampilan unik oleh host, sehingga diminta naik ke panggung. Ia diminta untuk menyanyi, namun ia mengatakan dirinya tidak bisa bernyanyi. Alih-alih menyanyi, Asep justru berdoa dengan suara yang mantap dan lantang. Beberapa orang menertawakannya, yang lain mengernyit bingung. Farah, yang sudah malu bukan kepalang, keluar dari diskotek. Melihat Farah keluar, Asep pun ikut keluar. Di sana, Farah memarahi Asep. Menurutnya, tempat orang selugu Asep bukanlah di kota.
Konflik-konflik ini terjadi karena keluguan dan kemantapan hati Asep dalam mengiman nilai relijiusitas, namun tak dapat meletakkannya di tempat yang tepat. Perbedaan perspektif dan budaya yang ada rupanya tidak bisa dimengerti oleh Asep.
· Poin budaya terakhir dalam film “Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap” tersebut, adalah terkait dengan identitas regional. Tiap daerah memiliki kekhasan bahasa maupun logat, yang akan susah ditinggalkan oleh warganya. Dalam film tersebut, logat yang ada adalah logat Madura (satpam di rumah Farah yang lama) dan logat Jakarta (lo-gue). Sementara bahasa daerah yang banyak digunakan adalah bahasa Sunda, yang digunakan Asep dan keluarganya.
Oleh : Inasshabihah
Komentar
Posting Komentar