Tangerang - (28/11). Citra wartawan
yang kian memburuk dimata publik, membuat dewan pers mengeluarkan peraturan
mengenai Sertifikasi Kompetensi Wartawan, yang bertujuan untuk mengembalikan
profesi wartawan menjadi profesi yang terhormat dan bermartabat.
Hal tersebut di ungkapkan oleh Ketua
Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers, Bekti
Nugroho saat ditemui di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat
(25/11).
“Sekarang mulai ada ketidakpercayaan
bahwa profesi wartawan itu bener. Ini
dikarenakan banyak oknum yang berkedok sebagai wartawan. Nah bagaimana cara
membersihkannya? Dengan uji kompetensi,” terangnya.
Lebih lanjut Bekti menerangkan, sertifikasi
ini sudah dibahas sejak 2004, namun programnya baru berjalan efektif sejak
2008. Bersamaan dengan Hari Pers Nasional di Palembang, beberapa
wartawan senior, antara lain Bambang Harymurti dan Goenawan Mohamad, sudah
disertifikasi. Pelaksana ujian ini antara lain Dewan
Pers, organisasi profesi, organisasi pers, lembaga pendidikan, lembaga kursus,
ataupun universitas, asalkan persyaratannya memenuhi untuk mengadakan uji
kompetensi wartawan.
Sertifikasi dianggap menjawab
profesionalitas seorang wartawan, hingga titik tertentu. “Dalam uji kompetensi
itu ada tiga komponen pokok, yaitu tentang skill,
pengetahuan, dan kesadaran etis. Sehingga, wartawan yang tersertifikasi menjadi
tolak ukur untuk profesi itu,” jelas Bekti.
Sementara itu, lembaga yang sudah
berhak untuk menguji dan mengeluarkan sertifikat kepada wartawan adalah LPDS
(Lembaga Pers Dokter Sutomo), Kantor Berita ANTARA, PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia), dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). AJI akan diberikan haknya oleh
Dewan Pers dalam di Forum Kongres AJI tanggal 30 November – 3 Desember di
Makassar.
Setuju dengan Bekti, Sunudyantoro, Anggota
Divisi Pengembangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan,
sertifikasi wartawan juga diperlukan guna menata media massa, yang sejak reformasi
telah tumbuh subur.
“Banyak
muncul media yang tidak kredibel, dengan modal lima sampai lima belas juta, kemudian
menyuruh wartawannya untuk liputan dan mencari duit sendiri ke narasumbernya,
misalnya berupa uang bensin. Nah, uji sertifikasi berangkat dari keprihatinan
atas wartawan-wartawan yang tidak punya kompetensi dan tidak menghargai kode
etik tersebut.”
Namun, disisi lain sertifikasi ini mulai
dibisniskan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. “Saya dengar ada
yang sudah mulai membisniskan sertifikat ini dengan harga satu juta lima ratus
– dua juta. Maka kami mengingatkan kepada lembaga-lembaga pemberi sertifikat
agar mereka tidak serampangan dalam memberikan sertifikasi, atau membisniskan
uji sertifikasi ini,” ungkap Sunu.
Kompas pun setuju dengan sertifikasi ini. Wartawan
Senior Kompas, Ninok Leksono, menyatakan bahwa sertifikasi itu penting agar
profesi kewartawanan tidak diperlakukan secara sembarangan oleh orang yang
menjalani, dan oleh masyarakat dimana profesi itu dijalankan.
Hal
senada diungkapkan juga oleh Pemimpin Redaksi Tangerang Express, Agung Susilo
Pambudi. Ia menganggap sertifikasi memegang peran penting untuk meminimalisir
media abal-abal yang kental dengan
budaya ‘amplop’-nya.
“Nah
dengan sertifikasi wartawan ini, nanti koran semacam itu akan mati dengan
sendirinya. Narasumber akan menanyakan terlebih dahulu nomor sertifikasi
wartawannya,” ungkap Agung.
Namun, mensertifikasi
ratusan ribu wartawan, tentunya pekerjaan yang besar. Bekti memperkirakan lima
tahun ke depan semua wartawan baru bisa tersertifikasi. “Dengan catatan semua media-media besar ikut ya,
jadi kalo media-media besar itu ikut jadi lembaga penguji,” imbuhnya.
(Inasshabihah/Indah Lestari/Leonita)
Komentar
Posting Komentar