Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Sertifikasi : Solusi Perbaiki Citra Wartawan


Tangerang - (28/11). Citra wartawan yang kian memburuk dimata publik, membuat dewan pers mengeluarkan peraturan mengenai Sertifikasi Kompetensi Wartawan, yang bertujuan untuk mengembalikan profesi wartawan menjadi profesi yang terhormat dan bermartabat.

Hal tersebut di ungkapkan oleh Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers, Bekti Nugroho saat ditemui di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (25/11).

“Sekarang mulai ada ketidakpercayaan bahwa profesi wartawan itu bener. Ini dikarenakan banyak oknum yang berkedok sebagai wartawan. Nah bagaimana cara membersihkannya? Dengan uji kompetensi,” terangnya.

Lebih lanjut Bekti menerangkan, sertifikasi ini sudah dibahas sejak 2004, namun programnya baru berjalan efektif sejak 2008. Bersamaan dengan Hari Pers Nasional di Palembang, beberapa wartawan senior, antara lain Bambang Harymurti dan Goenawan Mohamad, sudah disertifikasi. Pelaksana ujian ini antara lain Dewan Pers, organisasi profesi, organisasi pers, lembaga pendidikan, lembaga kursus, ataupun universitas, asalkan persyaratannya memenuhi untuk mengadakan uji kompetensi wartawan.

Sertifikasi dianggap menjawab profesionalitas seorang wartawan, hingga titik tertentu. “Dalam uji kompetensi itu ada tiga komponen pokok, yaitu tentang skill, pengetahuan, dan kesadaran etis. Sehingga, wartawan yang tersertifikasi menjadi tolak ukur untuk profesi itu,” jelas Bekti.

Sementara itu, lembaga yang sudah berhak untuk menguji dan mengeluarkan sertifikat kepada wartawan adalah LPDS (Lembaga Pers Dokter Sutomo), Kantor Berita ANTARA, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). AJI akan diberikan haknya oleh Dewan Pers dalam di Forum Kongres AJI tanggal 30 November – 3 Desember di Makassar.

Setuju dengan Bekti, Sunudyantoro, Anggota Divisi Pengembangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan, sertifikasi wartawan juga diperlukan guna menata media massa, yang sejak reformasi telah tumbuh subur.

“Banyak muncul media yang tidak kredibel, dengan modal lima sampai lima belas juta, kemudian menyuruh wartawannya untuk liputan dan mencari duit sendiri ke narasumbernya, misalnya berupa uang bensin. Nah, uji sertifikasi berangkat dari keprihatinan atas wartawan-wartawan yang tidak punya kompetensi dan tidak menghargai kode etik tersebut.”

Namun, disisi lain sertifikasi ini mulai dibisniskan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. “Saya dengar ada yang sudah mulai membisniskan sertifikat ini dengan harga satu juta lima ratus – dua juta. Maka kami mengingatkan kepada lembaga-lembaga pemberi sertifikat agar mereka tidak serampangan dalam memberikan sertifikasi, atau membisniskan uji sertifikasi ini,” ungkap Sunu.

Kompas pun setuju dengan sertifikasi ini. Wartawan Senior Kompas, Ninok Leksono, menyatakan bahwa sertifikasi itu penting agar profesi kewartawanan tidak diperlakukan secara sembarangan oleh orang yang menjalani, dan oleh masyarakat dimana profesi itu dijalankan.

Hal senada diungkapkan juga oleh Pemimpin Redaksi Tangerang Express, Agung Susilo Pambudi. Ia menganggap sertifikasi memegang peran penting untuk meminimalisir media abal-abal yang kental dengan budaya ‘amplop’-nya.

“Nah dengan sertifikasi wartawan ini, nanti koran semacam itu akan mati dengan sendirinya. Narasumber akan menanyakan terlebih dahulu nomor sertifikasi wartawannya,” ungkap Agung.

Namun, mensertifikasi ratusan ribu wartawan, tentunya pekerjaan yang besar. Bekti memperkirakan lima tahun ke depan semua wartawan baru bisa tersertifikasi. “Dengan catatan semua media-media besar ikut ya, jadi kalo media-media besar itu ikut jadi lembaga penguji,” imbuhnya. (Inasshabihah/Indah Lestari/Leonita)

Komentar

Postingan Populer