“Hiduplah di
realita. Bukan di imajinasi. Berpijaklah di dunia. Bukan di khayalan. Kamu
bukan putri kahyangan. Kamu itu dirimu sendiri! Nirina Marlina, manusia yang
hidup dengan mimpi!”
Selanjutnya,
bapak ompong itu mengeluarkan tawa membahana yang menakutkan.
*
Sekilas tak ada
yang istimewa dari ruang itu. Yeah, memang tidak ada. Kebanyakan jorok, bau,
berlumut, memiliki kotoran hitam permanen di banyak titik. Belum lagi bau
pesing yang masih akan tinggal beberapa menit setelah si empunya air
membuangnya. Selain itu, tak jarang kamar mandi menjadi tempat hinggap beberapa
hewan. Si ulat kaki seribu, kecoa, juga binatang lain yang selalu ada tiap aku
masuk ke kamar mandi.
Tapi bagiku,
tempat ini sangat istimewa. Inilah surga pertamaku di dunia. Ulat ataupun kecoa
tinggal disiram saja ke arah pembuangan. Kamar mandi di rumah ini juga sering
bau pesing, terlebih jika adikku selesai kencing. Bau busuk menyeruak
kemana-mana. Bayangkan saja, ia kencing di dinding kamar mandi, bukan di
lantainya! Memang. Manusia sialan.
Tapi tak
masalah. Tetap saja akan kusiram seluruh ruangan hingga wangi, lalu aku akan
kembali merasakan surga pertamaku di dunia itu.
Kenapa kusebut
surga? Well.
Pernahkah
kalian rasakan, bahwa kalian butuh satu ruang dan satu waktu untuk diri kalian
sendiri? Kalian butuh ruang mengekspresikan diri, bahkan menjadi apa yang
kalian mau, bukan yang orang lain mau. Dan di sanalah aku menemukan tempat
untuk itu: kamar mandi. Dan saat itulah aku menemukan waktu yang tepat: saat
mandi.
Aku bisa
menjadi apa saja di kamar mandi. Bisa menjadi bak Diana, si ratu paling cantik
di kampusku, yang dikelilingi banyak pria tampan, dan setiap orang memuji
penampilannya. Aku bisa seperti Natalia, si dancer
favorit para mahasiswa kampus yang mendapat juara di banyak kompetisi dance, dan mampu menari hip hop, R n B, maupun modern dance yang super hot itu.
Aku juga bisa berlagak bagaikan Firly, si artis Film Televisi (FTV) yang
wajahnya wara-wiri di televisi dan banyak diliput infotainment karena prestasi-prestasinya sebagai sineas muda.
Apa itu salah?
Oh, tidak. Aku
bukan iri. Aku tidak pernah iri. Aku hanya ingin menjadi seperti mereka. Aku
ingin hidupku bukan hanya sebagai Nirina yang pendiam, sedikit teman, dan yang
kata orang selalu kikuk. Bukan Nirina, si mahasiswa Sastra dan Bahasa Indonesia
Universitas Maraburu, yang tak bisa membuka diri dengan lelaki. Di kamar mandi
itu, seperti yang sudah kalian ketahui, aku bisa menjadi Diana, Natalia, atau Firly.
Percayalah, itu
sangat menyenangkan.
*
“Nirina!
Cepatlah kau keluar dari kamar mandi! ini adikmu mau mandi!”
Itu suara
melengking kepunyaan Paman, seorang arek Surabaya
yang teledor. Ia menikahi bibiku, perempuan Jawa yang perfeksionis, 15 tahun
lalu. Kombinasi yang rumit. Mamaku adalah kakak bibi. Aku memilih tinggal
dengan Bibi di kota, karena kupikir akan lebih mudah untuk mengejar cita-citaku
di sini, di kota, daripada di desa.
Paman dan
bibiku ini punya dua anak. Satu perempuan, joroknya minta ampun. Satu
laki-laki, nakalnya bukan main. Lengkap sudah. Dengan segala penderitaan itu,
kamar mandi adalah satu bagian paling menyenangkan.
“Sebentar,
Paman! Ini aku mau selesai!” balasku. Aku berhenti memainkan adegan itu. Yeah,
aku baru saja berakting –tepatnya berkhayal- menjadi diriku sendiri, di masa
sekitar… satu tahun mendatang. Saat itu aku menjadi seorang perempuan yang sudah
menggenggam predikat sebagai artist of
the year. Di adegan tersebut, aku sedang memamerkan kesuksesanku di depan teman-temanku
di kampung.
Karena tak
ingin diteriaki lagi, aku bergegas membersihkan tubuh dari air dengan handuk,
lalu keluar dan bersiap ke kampus. Dan... menghadapi realitas!
*
Aku bukan
siapa-siapa di kampus Universitas Maraburu ini. Hanya seonggok daging berjalan.
Berkacamata tebal. Berkawat gigi. Orang menyebutnya nerd. Aku tidak punya banyak teman. Satu dua, itu pun datang dan
pergi tidak jelas. Bagiku mereka semua hanya ilusi. Aku hanya hidup di kamar
mandi, bukan di kampus keren ini.
“Hai, anak
beasiswa!”
Aku menoleh
setelah menekan tombol naik di samping pintu lift. Oh-Tuhan. Itu Adam!
“Hai.”
“Sudah
mengerjakan tugas esai bahasa Inggris itu?”
“Eng.. sudah..”
“Aneh, ya? Kita
kan mahasiswa Sastra Indonesia. Buat apa diberi tugas bahasa Inggris?”
Aku hanya
meringis. Aku bisa menebak kemana alur cerita ini. Satu.. dua..
“Anyway, bisa bantu aku menerjemahkan esai
ke dalam bahasa Inggris?”
Itu dia! Aku
memutar bola mata jengah, tentunya dengan membelakangi Adam. See? Mereka hanya butuh aku saat darurat.
Ada tugas yang susah? Oh bilang saja ke
Nirina! Dia pasti bisa membantu! Hah! Adam memang keren. Aku juga jatuh
cinta padanya, namun dia lumayan menyebalkan.
“Oh. Oke.”
Jawaban singkat itu akumulasi dari kekesalanku. Tolong, beri aku kesempatan
untuk jadi gadis yang sempurna, yang bahagia, dikeliling cowok, berprestasi,
dan…
“Kapan bisa kau
bantu?” tanya Adam lagi.
Kini aku
benar-benar memutar bola mataku. Makin jengah.
*
Kamar mandi!
Itulah pelarian
pertamaku. Aku ingin menangis sepuasnya. Tadi di kampus, Adam menyontek full esaiku, dan mengakui sebagai
esainya, lalu ia mempermalukanku di depan kelas, menuduhku sebagia copycat! Seluruh kelas tertawa. Yang
paling nyaring tentu saja Lany, si Ratu Kampus!
Tuhan tolong, Kau ada dimana? Aku berkali-kali dilecehkan!
Begini-begini aku ini makhluk-Mu! Apa kau tak merasa sedih? Tak merasa ikut
dilecehkan? Bukankah mestinya begitu cara kerja-Mu? Ah!
*
Sore ini aku
punya waktu yang lebih lama untuk “mendekam” di kamar mandi kesayanganku ini. Seluruh
keluarga sedang pergi, si pembantu asyik telponan di sambil mencuci piring. Aku
pun bisa menikmati air dari shower yang
mengenai kepalaku lembut.
Lalu kukecilkan
sedikit kucuran shower itu, dan
berbalik memang cermin berbentuk persegi panjang ke samping yang cukup besar di
depanku ini. Aku pun menyunggingkan senyum dan siap beraksi. Aku membayangkan
diriku adalah Firly, si artis eksis, saat nerima piala sineas muda terbaik.
Di depan cermin
aku memeragakan diriku bicara di podium, mengucapkan terima kasih, dan
sebagainya. Lalu, akan ada kekasihku, datang dan mengucapkan selamat seraya
mencium kening. Yeah, alam khayal akan selalu lebih indah. Selalu!
Mumpung punya
waktu lebih banyak, aku berpikir lagi. Ingin jadi apa aku nanti? Artis, ratu
kecantikan, dan... oh iya, dancer. Seketika
aku teringat video dance di Youtube
yang gerakannya asyik dan inspiratif. Tanpa dikomando, tubuhku sudah meliuk ke
kanan ke kiri. Aku layaknya tampil di atas pentas. Aku menari dengan maksimal.
Aku bukan Nirina yang kuper dan cupu. Aku Nirina si dancer hebat! Tangan dan kakiku makin bebas. Meninju dinding,
menghentak lantai. Hingga suara pembantuku terdengar.
“Mbak Nir! Itu
ngapain di kamar mandi? Kok berisik? Berantem?”
Aku menelan
ludah. Yaaah, sepertinya sudah cukup menghibur.
*
Aku marah!
Lany, si ketua geng
gaul, benar-benar mempermalukanku. Sepeda baruku digembesi, kursiku diolesi tomat
merah hingga jeans putihku ternoda.
Di pantat pula! Tak hanya itu, ia mencuri buku diary dari tasku dan membacanya dengan mikrofon di lobi kampus. Sekarang
seluruh kampus tahu aku naksir setengah mati pada Adam, dan aku desperately ingin menjadi seperti Diana,
Natalia, atau Firly.
Oh, ini bahkan
lebih dari memalukan.
Aku berlari ke
arahnya, menyabet diary itu dari
tangannya, lalu aku berlari keluar. Tidak bisa naik sepeda. Aku berlari
mengejar angkot. Aku benar-benar tidak berguna. Aku sudah tidak peduli. Aku
menangis dan membiarkan orang mengartikan sendiri apa yang terjadi padaku.
Oh, Tuhan. Inikah
yang disebut realita? Kenapa selalu buruk? Apa salah jika aku hidup di khayalku
yang indah itu? Di kamar mandiku saja, dan tidak kemana-mana?
*
Tiba di depan
kamar mandi kesayanganku, aku melongo.
“Lho? Kenapa
begini?” tanyaku melihat kamar mandi sudah roboh, runtuh, gelap.
“Iya, Nir. Ini kamar
mandi Paman robohkan,” jawab Paman, “Sengaja untuk memperluas kamar adikmu. Sementara
kita pakai kamar mandi sebelah, ya.” Paman pergi ke teras rumah dan mengobrol
dengan seorang tukang, sepertinya.
Aku mengerang
keras dalam hati, lalu melirik kamar mandi sebelah. Ya Tuhan. Kamar mandi itu
sempit. Tidak ada shower. Dan tidak
ada kaca! Ah! Lalu bagaimana surgaku? Ya Tuhan. Belum cukupkah aku kehilangan
harga diri, dan kini kehilangan satu-satunya bagian menyenangkan dalam hidup?
Kehilangan kamar mandi kesayanganku?
Aku menunduk
dan hendak berbalik, saat tiba-tiba seorang bapak tukang yang sangat tua dengan
gigi ompong tertawa di sampingku, “Hahaha… sudahlah, relakan, Nak. Mulai
sekarang, hiduplah di realita. Bukan di imajinasi. Berpijaklah di dunia. Bukan
di khayalan. Kamu bukan putri kahyangan. Kamu itu dirimu sendiri! Nirina
Marlina, manusia yang hidup dengan mimpi!”
Selanjutnya,
bapak ompong itu mengeluarkan tawa membahana yang menakutkan.
“Kok… bapak
tahu?” tanyaku.
Si bapak tetap
saja tertawa. Gigi ompongnya nyata menyala, dan punggungnya bergetar naik turun
seiring gelak tawanya.
* Cerpen ini jadi jalan masuk gue ke Ultimagz :)
Komentar
Posting Komentar