Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Kamar Mandi


“Hiduplah di realita. Bukan di imajinasi. Berpijaklah di dunia. Bukan di khayalan. Kamu bukan putri kahyangan. Kamu itu dirimu sendiri! Nirina Marlina, manusia yang hidup dengan mimpi!”

Selanjutnya, bapak ompong itu mengeluarkan tawa membahana yang menakutkan.
*

Sekilas tak ada yang istimewa dari ruang itu. Yeah, memang tidak ada. Kebanyakan jorok, bau, berlumut, memiliki kotoran hitam permanen di banyak titik. Belum lagi bau pesing yang masih akan tinggal beberapa menit setelah si empunya air membuangnya. Selain itu, tak jarang kamar mandi menjadi tempat hinggap beberapa hewan. Si ulat kaki seribu, kecoa, juga binatang lain yang selalu ada tiap aku masuk ke kamar mandi.

Tapi bagiku, tempat ini sangat istimewa. Inilah surga pertamaku di dunia. Ulat ataupun kecoa tinggal disiram saja ke arah pembuangan. Kamar mandi di rumah ini juga sering bau pesing, terlebih jika adikku selesai kencing. Bau busuk menyeruak kemana-mana. Bayangkan saja, ia kencing di dinding kamar mandi, bukan di lantainya! Memang. Manusia sialan.

Tapi tak masalah. Tetap saja akan kusiram seluruh ruangan hingga wangi, lalu aku akan kembali merasakan surga pertamaku di dunia itu.

Kenapa kusebut surga? Well.

Pernahkah kalian rasakan, bahwa kalian butuh satu ruang dan satu waktu untuk diri kalian sendiri? Kalian butuh ruang mengekspresikan diri, bahkan menjadi apa yang kalian mau, bukan yang orang lain mau. Dan di sanalah aku menemukan tempat untuk itu: kamar mandi. Dan saat itulah aku menemukan waktu yang tepat: saat mandi.

Aku bisa menjadi apa saja di kamar mandi. Bisa menjadi bak Diana, si ratu paling cantik di kampusku, yang dikelilingi banyak pria tampan, dan setiap orang memuji penampilannya. Aku bisa seperti Natalia, si dancer favorit para mahasiswa kampus yang mendapat juara di banyak kompetisi dance, dan mampu menari hip hop, R n B, maupun modern dance yang super  hot itu. Aku juga bisa berlagak bagaikan Firly, si artis Film Televisi (FTV) yang wajahnya wara-wiri di televisi dan banyak diliput infotainment karena prestasi-prestasinya sebagai sineas muda.

Apa itu salah?

Oh, tidak. Aku bukan iri. Aku tidak pernah iri. Aku hanya ingin menjadi seperti mereka. Aku ingin hidupku bukan hanya sebagai Nirina yang pendiam, sedikit teman, dan yang kata orang selalu kikuk. Bukan Nirina, si mahasiswa Sastra dan Bahasa Indonesia Universitas Maraburu, yang tak bisa membuka diri dengan lelaki. Di kamar mandi itu, seperti yang sudah kalian ketahui, aku bisa menjadi Diana, Natalia, atau Firly.

Percayalah, itu sangat menyenangkan.
*

“Nirina! Cepatlah kau keluar dari kamar mandi! ini adikmu mau mandi!”

Itu suara melengking kepunyaan Paman, seorang arek Surabaya yang teledor. Ia menikahi bibiku, perempuan Jawa yang perfeksionis, 15 tahun lalu. Kombinasi yang rumit. Mamaku adalah kakak bibi. Aku memilih tinggal dengan Bibi di kota, karena kupikir akan lebih mudah untuk mengejar cita-citaku di sini, di kota, daripada di desa.

Paman dan bibiku ini punya dua anak. Satu perempuan, joroknya minta ampun. Satu laki-laki, nakalnya bukan main. Lengkap sudah. Dengan segala penderitaan itu, kamar mandi adalah satu bagian paling menyenangkan.

“Sebentar, Paman! Ini aku mau selesai!” balasku. Aku berhenti memainkan adegan itu. Yeah, aku baru saja berakting –tepatnya berkhayal- menjadi diriku sendiri, di masa sekitar… satu tahun mendatang. Saat itu aku menjadi seorang perempuan yang sudah menggenggam predikat sebagai artist of the year. Di adegan tersebut, aku sedang memamerkan kesuksesanku di depan teman-temanku di kampung.

Karena tak ingin diteriaki lagi, aku bergegas membersihkan tubuh dari air dengan handuk, lalu keluar dan bersiap ke kampus. Dan... menghadapi realitas!
*

Aku bukan siapa-siapa di kampus Universitas Maraburu ini. Hanya seonggok daging berjalan. Berkacamata tebal. Berkawat gigi. Orang menyebutnya nerd. Aku tidak punya banyak teman. Satu dua, itu pun datang dan pergi tidak jelas. Bagiku mereka semua hanya ilusi. Aku hanya hidup di kamar mandi, bukan di kampus keren ini.

“Hai, anak beasiswa!”

Aku menoleh setelah menekan tombol naik di samping pintu lift. Oh-Tuhan. Itu Adam!

“Hai.”

“Sudah mengerjakan tugas esai bahasa Inggris itu?”

“Eng.. sudah..”

“Aneh, ya? Kita kan mahasiswa Sastra Indonesia. Buat apa diberi tugas bahasa Inggris?”

Aku hanya meringis. Aku bisa menebak kemana alur cerita ini. Satu.. dua..

Anyway, bisa bantu aku menerjemahkan esai ke dalam bahasa Inggris?”

Itu dia! Aku memutar bola mata jengah, tentunya dengan membelakangi Adam. See? Mereka hanya butuh aku saat darurat. Ada tugas yang susah? Oh bilang saja ke Nirina! Dia pasti bisa membantu! Hah! Adam memang keren. Aku juga jatuh cinta padanya, namun dia lumayan menyebalkan.

“Oh. Oke.” Jawaban singkat itu akumulasi dari kekesalanku. Tolong, beri aku kesempatan untuk jadi gadis yang sempurna, yang bahagia, dikeliling cowok, berprestasi, dan…

“Kapan bisa kau bantu?” tanya Adam lagi.

Kini aku benar-benar memutar bola mataku. Makin jengah.
*

Kamar mandi!

Itulah pelarian pertamaku. Aku ingin menangis sepuasnya. Tadi di kampus, Adam menyontek full esaiku, dan mengakui sebagai esainya, lalu ia mempermalukanku di depan kelas, menuduhku sebagia copycat! Seluruh kelas tertawa. Yang paling nyaring tentu saja Lany, si Ratu Kampus!

Tuhan tolong, Kau ada dimana? Aku berkali-kali dilecehkan! Begini-begini aku ini makhluk-Mu! Apa kau tak merasa sedih? Tak merasa ikut dilecehkan? Bukankah mestinya begitu cara kerja-Mu? Ah!
*

Sore ini aku punya waktu yang lebih lama untuk “mendekam” di kamar mandi kesayanganku ini. Seluruh keluarga sedang pergi, si pembantu asyik telponan di sambil mencuci piring. Aku pun bisa menikmati air dari shower yang mengenai kepalaku lembut.

Lalu kukecilkan sedikit kucuran shower itu, dan berbalik memang cermin berbentuk persegi panjang ke samping yang cukup besar di depanku ini. Aku pun menyunggingkan senyum dan siap beraksi. Aku membayangkan diriku adalah Firly, si artis eksis, saat nerima piala sineas muda terbaik.

Di depan cermin aku memeragakan diriku bicara di podium, mengucapkan terima kasih, dan sebagainya. Lalu, akan ada kekasihku, datang dan mengucapkan selamat seraya mencium kening. Yeah, alam khayal akan selalu lebih indah. Selalu!

Mumpung punya waktu lebih banyak, aku berpikir lagi. Ingin jadi apa aku nanti? Artis, ratu kecantikan, dan... oh iya, dancer. Seketika aku teringat video dance di Youtube yang gerakannya asyik dan inspiratif. Tanpa dikomando, tubuhku sudah meliuk ke kanan ke kiri. Aku layaknya tampil di atas pentas. Aku menari dengan maksimal. Aku bukan Nirina yang kuper dan cupu. Aku Nirina si dancer hebat! Tangan dan kakiku makin bebas. Meninju dinding, menghentak lantai. Hingga suara pembantuku terdengar.

“Mbak Nir! Itu ngapain di kamar mandi? Kok berisik? Berantem?”

Aku menelan ludah. Yaaah, sepertinya sudah cukup menghibur.
*

Aku marah!

Lany, si ketua geng gaul, benar-benar mempermalukanku. Sepeda baruku digembesi, kursiku diolesi tomat merah hingga jeans putihku ternoda. Di pantat pula! Tak hanya itu, ia mencuri buku diary dari tasku dan membacanya dengan mikrofon di lobi kampus. Sekarang seluruh kampus tahu aku naksir setengah mati pada Adam, dan aku desperately ingin menjadi seperti Diana, Natalia, atau Firly.

Oh, ini bahkan lebih dari memalukan.

Aku berlari ke arahnya, menyabet diary itu dari tangannya, lalu aku berlari keluar. Tidak bisa naik sepeda. Aku berlari mengejar angkot. Aku benar-benar tidak berguna. Aku sudah tidak peduli. Aku menangis dan membiarkan orang mengartikan sendiri apa yang terjadi padaku.

Oh, Tuhan. Inikah yang disebut realita? Kenapa selalu buruk? Apa salah jika aku hidup di khayalku yang indah itu? Di kamar mandiku saja, dan tidak kemana-mana?

*
Tiba di depan kamar mandi kesayanganku, aku melongo.

“Lho? Kenapa begini?” tanyaku melihat kamar mandi sudah roboh, runtuh, gelap.

“Iya, Nir. Ini kamar mandi Paman robohkan,” jawab Paman, “Sengaja untuk memperluas kamar adikmu. Sementara kita pakai kamar mandi sebelah, ya.” Paman pergi ke teras rumah dan mengobrol dengan seorang tukang, sepertinya.

Aku mengerang keras dalam hati, lalu melirik kamar mandi sebelah. Ya Tuhan. Kamar mandi itu sempit. Tidak ada shower. Dan tidak ada kaca! Ah! Lalu bagaimana surgaku? Ya Tuhan. Belum cukupkah aku kehilangan harga diri, dan kini kehilangan satu-satunya bagian menyenangkan dalam hidup? Kehilangan kamar mandi kesayanganku?

Aku menunduk dan hendak berbalik, saat tiba-tiba seorang bapak tukang yang sangat tua dengan gigi ompong tertawa di sampingku, “Hahaha… sudahlah, relakan, Nak. Mulai sekarang, hiduplah di realita. Bukan di imajinasi. Berpijaklah di dunia. Bukan di khayalan. Kamu bukan putri kahyangan. Kamu itu dirimu sendiri! Nirina Marlina, manusia yang hidup dengan mimpi!”

Selanjutnya, bapak ompong itu mengeluarkan tawa membahana yang menakutkan.

“Kok… bapak tahu?” tanyaku.

Si bapak tetap saja tertawa. Gigi ompongnya nyata menyala, dan punggungnya bergetar naik turun seiring gelak tawanya.

*
 by : Inasshabihah
* Cerpen ini jadi jalan masuk gue ke Ultimagz :)

Komentar

Postingan Populer