Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Mas Marco Kartodikromo

Mas Marco Kartodikromo adalah junalis dan penulis modern pertama di Indonesia yang lahir di Cepu, Blora pada 1890. Pada masa itu, penguasa kolonial Belanda telah menerapkan tanam paksa yang membuat ribuan orang meninggal karena kelaparan, mengeruk jati-jati, menguras minyak Cepu, mencekik dengan pajak, dan kerja wajib.

Marco lahir dari keluarga priyayi-petani rendahan. Menurut informasi, ia menempuh pendidikan sampai sekolah Bumiputera ongko loro. Saat berumur 15 tahun (1905),  ia memasuki Dinas Kehutanan sebagai juru tulis. Tak lama, ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis untuk Netherlands International Studies (NIS), sambil belajar bahasa Belanda.
Ketika berumur 21 tahun, ia hijrah ke Bandung. Pada 1911 itu Marco mengikuti jejak Mas Tirto Adhi Soerjo, penerbit Medan Prijaji. Ia belajar jurnalistik dan pergerakan kali pertama dari seorang Tirto yang dikenal radikal. Saat Medan Prijaji bangkrut di tahun 1912, di sinilah awal mula keterlibatan Marco sebagai komisioner yang mengurusi terbitnya Sarotomo, organ Sarekat Islam Surakarta dan Sarekat Islam Surakarta.
Pada 1914, Marco mendirikan Inlandedsche Jounalisten Bond (IJB) dengan organnya Doenia Bergerak. Organisasi ini menghimpun pers-pers di Hindia Belanda yang geram pada kolonial. Era ini adalah era emas bagi Marco. Suaranya sangat militan, meyakinkan, dan bersemangat. Bahkan Marco berani menyerang D. A. Rinkes, penasihat urusan Bumiputera, lewat karangan monumentalnya “Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes”. Ia menyebut Rinkes “doekoen”, berkaitan dengan perannya dalam SI. Keberanian itu membuatnya dijerat persdelict oleh kolonial. Ia divonis tujuh bulan penjara di Semarang.
Maret 1916, Marco bebas. Ia lalu pergi ke Belanda dengan dibiayai oleh Goenawan, rekannya di Medan Prijaji, dan sepulangnya dari sana ia menjadi koresponden Pantjaran Warta. Di Belanda ia menulis “Sama Rasa Sama Rata”, yang membuatnya dilempar kembali ke Hindia Belanda, dan tulisan itu membuatnya mendekam dalam penjara Weltevreden selama setahun. Keluar dari sana pada 1917, Marco bergabung dengan teman sesama radikal, Semaoen, di Semarang. Di situ ia menjadi redaktur Sinar Hindia, organ Sarekat Islam Semarang.
Marco juga menulis novel berjudul Student Hidjo (1919), yang merupakan masa awal novel Indonesia modern. Selain itu, ia juga menulis beberapa roman lain, yaitu Mata Gelap (1914), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924).
Pada Kongres CSI (Central Sarekat Islam) Semarang, ia terpilih sebagai komisaris yang dibidang pers. Namun gara-gara “Sjairnya Sentot”, ia kembali dipenjara selama enam bulan. Oktober 1920, ia hijrah ke Yogyakarta dan bertemu Suwardi Suryaningrat. Ia pun bergabung dengan CSI Yogyakarta dan menerbitkan Pemimpin. Namun belum sempat majalah itu beredar, pemerintah Hindia Belanda membredel majalah tersebut. Akhir Agustus pun ia keluar dari CSI.
Marco pun menuju Salatiga pada September 1921. Empat bulan setelahnya, ia kembali menghadapi persdelict gara-gara “Rahasia Keraton Terboeka” dan “Matahariah” yang mengantarnya kembali ke penjara Weltevreden selama dua tahun. Bebas dari sana, Marco bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Selain itu, ia menerbitkan jurnal Hidoep dan berjuang mengorganisir para petani di Klaten, Delanggu, Boyolali, dan Surakarta.
Ia lantas balik ke Surakarta pada Juli 1924. Di sana ia memimpin Sarekat Rakjat. Pada 1926, Partai Komunis Indonesia berniat melakukan pemberontakan. Namun pada pemberontakan yang gagal pada 1927, Marco ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digoel pada 1927. Ia pun meninggal di sana pada 1932.
Sosok Mas Marco Kartodikromo penting dalam sejarah jurnalistik. Ia pribadi yang pantang menyerah da berani menyuarakan aspirasi, terlebih di zaman kolonial yang lebih penuh resiko dibanding zaman sekarang. Sosok seperti ini harus menjadi teladan bagi wartawan agar hanya menyuarakan kebenaran tanpa bumbu lain, dan bertanggung jawab atas apa yang ia suarakan tersebut.

Sumber:

Komentar

Postingan Populer