Mas
Marco Kartodikromo adalah junalis dan penulis modern pertama di Indonesia yang lahir
di Cepu, Blora pada 1890. Pada masa itu, penguasa kolonial Belanda telah
menerapkan tanam paksa yang membuat ribuan orang meninggal karena kelaparan,
mengeruk jati-jati, menguras minyak Cepu, mencekik dengan pajak, dan kerja
wajib.
Marco
lahir dari keluarga priyayi-petani rendahan. Menurut informasi, ia menempuh
pendidikan sampai sekolah Bumiputera ongko loro. Saat berumur 15 tahun (1905), ia memasuki Dinas Kehutanan sebagai juru
tulis. Tak lama, ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis untuk Netherlands
International Studies (NIS), sambil belajar bahasa Belanda.
Ketika berumur 21 tahun, ia hijrah ke Bandung. Pada 1911 itu Marco
mengikuti jejak Mas Tirto Adhi Soerjo, penerbit Medan Prijaji. Ia belajar jurnalistik dan pergerakan kali pertama
dari seorang Tirto yang dikenal radikal. Saat Medan Prijaji bangkrut di tahun 1912, di sinilah awal mula
keterlibatan Marco sebagai komisioner yang mengurusi terbitnya Sarotomo, organ Sarekat Islam Surakarta dan Sarekat Islam Surakarta.
Pada 1914, Marco mendirikan Inlandedsche Jounalisten Bond (IJB)
dengan organnya Doenia Bergerak.
Organisasi ini menghimpun pers-pers di Hindia Belanda yang geram pada kolonial.
Era ini adalah era emas bagi Marco. Suaranya sangat militan, meyakinkan, dan
bersemangat. Bahkan Marco berani menyerang D. A. Rinkes, penasihat urusan
Bumiputera, lewat karangan monumentalnya “Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes”. Ia
menyebut Rinkes “doekoen”, berkaitan dengan perannya dalam SI. Keberanian itu
membuatnya dijerat persdelict oleh
kolonial. Ia divonis tujuh bulan penjara di Semarang.
Maret 1916, Marco bebas. Ia lalu pergi ke Belanda dengan dibiayai
oleh Goenawan, rekannya di Medan Prijaji,
dan sepulangnya dari sana ia menjadi koresponden Pantjaran Warta. Di Belanda ia menulis “Sama Rasa Sama Rata”, yang membuatnya dilempar kembali ke Hindia Belanda, dan tulisan itu
membuatnya mendekam dalam penjara Weltevreden selama setahun. Keluar dari sana
pada 1917, Marco bergabung dengan teman sesama radikal, Semaoen, di Semarang.
Di situ ia menjadi redaktur Sinar Hindia,
organ Sarekat Islam Semarang.
Marco juga menulis novel berjudul Student Hidjo (1919), yang
merupakan masa awal novel
Indonesia modern. Selain
itu, ia juga menulis beberapa roman lain, yaitu Mata Gelap (1914), Syair
Rempah-rempah (1919), dan Rasa
Merdeka (1924).
Pada
Kongres CSI (Central Sarekat Islam) Semarang, ia terpilih sebagai komisaris
yang dibidang pers. Namun gara-gara “Sjairnya Sentot”, ia kembali dipenjara
selama enam bulan. Oktober 1920, ia hijrah ke Yogyakarta dan bertemu Suwardi
Suryaningrat. Ia pun bergabung dengan CSI Yogyakarta dan menerbitkan Pemimpin. Namun belum sempat majalah itu
beredar, pemerintah Hindia Belanda membredel majalah tersebut. Akhir Agustus
pun ia keluar dari CSI.
Marco
pun menuju Salatiga pada September 1921. Empat bulan setelahnya, ia kembali
menghadapi persdelict gara-gara
“Rahasia Keraton Terboeka” dan “Matahariah” yang mengantarnya kembali ke
penjara Weltevreden selama dua tahun. Bebas
dari sana, Marco bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Selain itu, ia
menerbitkan jurnal Hidoep dan
berjuang mengorganisir para petani di Klaten, Delanggu, Boyolali, dan
Surakarta.
Ia lantas balik ke Surakarta pada
Juli 1924. Di sana ia memimpin Sarekat Rakjat. Pada 1926, Partai Komunis
Indonesia berniat melakukan pemberontakan. Namun pada pemberontakan yang gagal
pada 1927, Marco ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digoel pada 1927.
Ia pun meninggal di sana pada 1932.
Sosok Mas Marco Kartodikromo penting dalam sejarah
jurnalistik. Ia pribadi yang pantang menyerah da berani menyuarakan aspirasi,
terlebih di zaman kolonial yang lebih penuh resiko dibanding zaman sekarang.
Sosok seperti ini harus menjadi teladan bagi wartawan agar hanya menyuarakan
kebenaran tanpa bumbu lain, dan bertanggung jawab atas apa yang ia suarakan
tersebut.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar