Reformasi telah
menyuburkan media massa di Indonesia. Sebelumnya, rezim Orde Baru membuat media
serba terkontrol. Hanya beberapa media massa yang diperbolehkan hidup. Itu pun
menyebarkan kepentingan pemerintah dengan sangat kaku. Akibatnya, beberapa media
menjadi sangat kritis terhadap pemerintah. Rasa tertekan membuatnya berani memperjuangkan
kebebasan. Bahkan mereka tidak mengindahkan aturan-aturan keras pemerintah.
Menanggapi pemberontakan
itu, Pemerintah tak tinggal diam. Terjadilah pembersihan terhadap
koran-koran tersebut. Ratusan penerbitan pers ditutup, dan ratusan wartawan
ditahan. Beberapa dari mereka dibuang ke pulau bernama Buru.
Lengsernya Soeharto,
yang ditandai dengan reformasi, membuat media massa berpesta pora. Terlebih mereka
pemilik perusahaan media cetak. Merdekalah para jurnalis independen dari jerat
mematikan yang mengikat kebebasan beraspirasi mereka.
Tak dapat
disangkal, setelah reformasi, aneka media massa yang tak terhitung jumlahnya itu
menjamur. Ini merupakan konsekuensi logis dari rasa kebebasan mereka setelah
selama ini. Lahirnya UU Pers mempertegas kebebasan mereka beraspirasi, tanpa
intervensi pihak lain.
Dari reformasi
pula, media-media lokal pun berkembang biak. Tentu ini kebebasan yang patut disyukuri.
Namun
kini akibat dari reformasi itu sendiri, media abal-abal ikut bermunculan, dengan jumlah lebih
banyak daripada media profesional.
Disebut abal-abal karena tidak jelas
independensi jurnalisnya. Wartawannya sering melanggar kode etik jurnalistik. Keadaan ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang
tidak bisa lagi membedakan mana media yang abal-abal, mana media yang profesional. Media abal
tersebut, sayangnya, ada di media-media lokal.
Beberapa dari
media tersebut terkena masalah terkait dengan kode etik, berita palsu, atau
pencemaran nama baik. Kode etik yang biasa dilanggar adalah meminta uang transport, atau uang makan. Bagi mereka hal
itu dianggap sebagai salah satu pemasukan wartawannya. Ironis, bukan?
Hal ini tentu diakibatkan
kurangnya skill dari media tersebut.
Mereka masih belum memegang teguh prinsip independensinya.
Yang makin mengkhawatirkan
adalah lahirnya wartawan ‘Bodrex’ dari media yang abal-abal tersebut. Wartawan
jenis ini biasanya tak segan memeras narasumber. “Disebut ‘bodrex’ karena mereka
itu bikin pusing!” tukas Sunudyantoro, jurnalis TEMPO yang juga anggota Aliansi
Jurnalis Independen (AJI).
Sebuah contoh kasus yang menimpa media
cetak harian lokal Tangerang, Satelit News dan Tangerang Ekspres. Kedua media
ini dihampiri sejumlah pegawai negeri kecamatan dan kader Posyandu Kota
Tangerang, pada 20 Juni lalu.
Aksi tersebut terjadi karena pemberitaan
dari dua media itu yang dianggap tidak sesuai dengan fakta dan mencoreng citra pemerintah
kota. Dalam berita yang mereka tulis, dikatakan bahwa pemerintah menelantarkan seorang
penderita gizi buruk bernama Mimin Idah Sari.
Padahal pemerintah sudah melakukan
banyak cara untuk menyembuhkan Mimin. Hanya saja, penyakit Mimin memang sudah
bawaan sejak lahir. Ia juga mengalami gangguan mental, sehingga cukup sulit
mengobatinya. Yang jelas, pemerintah menegaskan bahwa mereka sudah melakukan
pengobatan.
Sebelum itu, Satelit News juga terkena
kasus penulisan berita bohong. Ratusan pemimpin desa mendatangi kantor Satelit
News untuk memprotes agar media tersebut bersikap faktual dalam menyampaikan
berita.
Tuntutan tersebut muncul karena adanya
wacana mengenai pembentukan Kota Cipasera (Ciputat,
Cisauk, Pagedangan, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren). Padahal menurut Kepala
Desa Rawa Mekar Jaya, Serpong, Abdulrohim, belum ada niat pembentukan kota
tersebut. Dirinya dan para kepala desa pun cukup resah karena adanya halaman
khusus Cipasera dan Pantura. Pada kenyataannya, kota itu belum terbentuk.
Dia juga menyatakan bahwa
hingga saat ini belum ada warga yang mendukung rencana pembentukan Kota
Cipasera itu. Maka ditariklah kesimpulan bahwa pemberitaan Satelit News tidak
ditulis berdasarkan fakta yang ada. Ini tentu melanggar kode etik jurnalistik
dan aturan pers.
Contoh kasus lain yang belum lama
terjadi adalah charity setting-an
yang dilakukan stasiun TV One. Kronologisnya dimulai ketika Valencia Mieka
Randa atau dikenal dengan nama Silly, seorang owner lembaga donor darah online.
Silly, yang peduli akan nasib anak penderita gagal ginjal dan infeksi usus
bernama Nando, mem-posting beberapa
foto bocah 10 tahun itu di blog-nya, www.newsilly.com,
disertai permohonan bantuan yang ditulis Silly.
Tak lama ia mendapat pesan di Blackberry Messanger-nya dari Fifie. Di
situ Fifie mengusulkan agar Silly datang ke Sheraton dengan membawa artikel dan
foto Nando, karena akan diadakan fashion
show dan lelang baju serta charity
show oleh para sosialita. Nantinya uang yang didapat akan diserahkan ke Silly
langsung. Silly tentu sangat senang akhirnya Nando mendapat bantuan. Terlebih,
acara itu akan disorot oleh TV One.
Silly menemui Nando dan ibunya keesokan
hari. Mereka menerima tawaran Fifie dengan sangat terharu dan bahagia. Maka dengan
susah payah Silly menuju tempat yang sudah ditentukan.
Setibanya di Sheraton, di hadapan para
wartawan para sosialita itu mengatakan bahwa hasil acara charity malam itu akan disumbangkan kepada Nando untuk biaya
pengobatannya. Silly menulis dalam blog-nya
bahwa ia sangat terharu dan berulang kali mengucapkan rasa syukur pada Tuhan.
Lelang dimulai. Baju pertama yang
dilelang adalah milik penyanyi dangdut Kristina. Baju itu laku seharga 100 juta
rupiah. Baju kedua, laku dengan harga 90 juta rupiah, dibeli oleh modelnya
sendiri.
Namun, setelah acara selesai, tak ada
transaksi bantuan yang diberikan. Harusnya ia menerima uang hasil lelang itu,
bukan?
“Saat saya tanya bagaimana prosedur
pemberian bantuannya, barulah saya dikasih tahu kalau ternyata acara itu cuma setting-an,” begitu tulis Silly. Ia pun
bertanya pada Fifie dan mendapat jawaban, “Jadi gini, acara charity yang tadi itu acara setting-an, buat acaranya TVOne. Nah
nanti yang buat Nando, Mbak bikin BroadCast
Message saja, nanti aku bantu carikan donatur,” tulis Silly lagi di blog-nya.
Silly menjadi sangat kesal. Ia marah
pada Fifie karena tidak diberi tahu dari awal. Ia merasa membuang-buang waktu.
Terlebih acara itu hanyalah setting-an,
yang tentunya merugikan pihak Silly dan Nando. Perempuan itu pun meminta dengan
tegas agar semua gambar yang memuat
dirinya dan foto Nando untuk di-cut.
Tak lama, Silly mendapat kabar dari
wartawan TV One bernama Rey, yang mengatakan bahwa TV One setuju untuk meng-cut bagian tersebut karena menganggap
itu adalah penipuan. Namun sayangnya, acara “Sosialite” ditayangkan di TVOne, tanpa
meng-cut bagian yang diinginkan
Silly.
Ketika dikonfirmasi, Fifie membantah
acara itu adalah setting-an.
Menurutnya, Silly telat datang ke acara amal itu sehingga uang hasil amal
diserahkan kepada pihak lain yang juga membutuhkan.
Meskipun TV One telah membantah bahwa
itu rekayasa, tampaknya hingga saat ini masyarakat masih berpihak pada kekecewaan
Silly. Kebanyakan dari mereka meninggalkan stasiun TV terkait. Bahkan di situs Facebook telah dibuat grup “Boikot TV
One” karena terjadinya charity setting-an
itu. Di grup itu, mereka terus-terusan menyebut TV One sebagai media abal-abal.
Jika ditilik lebih jauh, kasus demi
kasus itu lahir dari kebebasan pers yang dianut negeri ini. Hanya dengan modal
5 sampai 10 juta, kita bisa saja mendirikan media cetak. Tanpa memperdulikan jauh
ke depan. Ini salah satu pemicu utama lairnya media abal-abal, wartawan
‘bodrex’, yang akhirnya memunculkan aneka masalah terkait pencemaran nama baik,
berita palsu, atau seperti yang barusan kita baca, charity setting-an, yang sangat merugikan. Artinya, kini bahkan
tidak hanya media cetak yang abal-abal, media elektronik pun bisa disebut
abal-abal.
Untuk
menghindarinya, diperlukan kesadaran dari semua pihak. Tidak hanya oleh media
itu sendiri, tapi juga masyarakat luas. Masyarakat harus bisa menyaring
terlebih dahulu mana media yang profesional dan yang tidak berkompeten. Dari
situ, masyarakat menjadi pengontrol dan pengawas pelaksanaan pemberitaan media.
Media massa sendiri
harusnya bijak menggunakan haknya. Karena itulah sebenarnya hakikat demokrasi:
bebas, tapi bertanggung jawab. Mereka tidak semata-mata bebas mendirikan
perusahaan media massa. Tapi mereka juga bertanggung jawab atas konten berita
dan kelangsungan hidup media itu.
oleh: Inasshabihah
Komentar
Posting Komentar