Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Media Abal-Abal, ‘Berkah’ Reformasi


Reformasi telah menyuburkan media massa di Indonesia. Sebelumnya, rezim Orde Baru membuat media serba terkontrol. Hanya beberapa media massa yang diperbolehkan hidup. Itu pun menyebarkan kepentingan pemerintah dengan sangat kaku. Akibatnya, beberapa media menjadi sangat kritis terhadap pemerintah. Rasa tertekan membuatnya berani memperjuangkan kebebasan. Bahkan mereka tidak mengindahkan aturan-aturan keras pemerintah.

Menanggapi pemberontakan itu, Pemerintah tak tinggal diam. Terjadilah pembersihan terhadap koran-koran tersebut. Ratusan penerbitan pers ditutup, dan ratusan wartawan ditahan. Beberapa dari mereka dibuang ke pulau bernama Buru.

Lengsernya Soeharto, yang ditandai dengan reformasi, membuat media massa berpesta pora. Terlebih mereka pemilik perusahaan media cetak. Merdekalah para jurnalis independen dari jerat mematikan yang mengikat kebebasan beraspirasi mereka.

Tak dapat disangkal, setelah reformasi, aneka media massa yang tak terhitung jumlahnya itu menjamur. Ini merupakan konsekuensi logis dari rasa kebebasan mereka setelah selama ini. Lahirnya UU Pers mempertegas kebebasan mereka beraspirasi, tanpa intervensi pihak lain.

Dari reformasi pula, media-media lokal pun berkembang biak. Tentu ini kebebasan yang patut disyukuri. Namun kini akibat dari reformasi itu sendiri, media abal-abal ikut bermunculan, dengan jumlah lebih banyak daripada media profesional.

Disebut abal-abal karena tidak jelas independensi jurnalisnya. Wartawannya sering melanggar kode etik jurnalistik. Keadaan ini diperparah dengan kondisi masyarakat yang tidak bisa lagi membedakan mana media yang abal-abal, mana media yang profesional. Media abal tersebut, sayangnya, ada di media-media lokal.

Beberapa dari media tersebut terkena masalah terkait dengan kode etik, berita palsu, atau pencemaran nama baik. Kode etik yang biasa dilanggar adalah meminta uang transport, atau uang makan. Bagi mereka hal itu dianggap sebagai salah satu pemasukan wartawannya. Ironis, bukan?

Hal ini tentu diakibatkan kurangnya skill dari media tersebut. Mereka masih belum memegang teguh prinsip independensinya.

Yang makin mengkhawatirkan adalah lahirnya wartawan ‘Bodrex’ dari media yang abal-abal tersebut. Wartawan jenis ini biasanya tak segan memeras narasumber. “Disebut ‘bodrex’ karena mereka itu bikin pusing!” tukas Sunudyantoro, jurnalis TEMPO yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Sebuah contoh kasus yang menimpa media cetak harian lokal Tangerang, Satelit News dan Tangerang Ekspres. Kedua media ini dihampiri sejumlah pegawai negeri kecamatan dan kader Posyandu Kota Tangerang, pada 20 Juni lalu.

Aksi tersebut terjadi karena pemberitaan dari dua media itu yang dianggap tidak sesuai dengan fakta dan mencoreng citra pemerintah kota. Dalam berita yang mereka tulis, dikatakan bahwa pemerintah menelantarkan seorang penderita gizi buruk bernama Mimin Idah Sari.

Padahal pemerintah sudah melakukan banyak cara untuk menyembuhkan Mimin. Hanya saja, penyakit Mimin memang sudah bawaan sejak lahir. Ia juga mengalami gangguan mental, sehingga cukup sulit mengobatinya. Yang jelas, pemerintah menegaskan bahwa mereka sudah melakukan pengobatan.

Sebelum itu, Satelit News juga terkena kasus penulisan berita bohong. Ratusan pemimpin desa mendatangi kantor Satelit News untuk memprotes agar media tersebut bersikap faktual dalam menyampaikan berita.

Tuntutan tersebut muncul karena adanya wacana mengenai pembentukan Kota Cipasera (Ciputat, Cisauk, Pagedangan, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren). Padahal menurut Kepala Desa Rawa Mekar Jaya, Serpong, Abdulrohim, belum ada niat pembentukan kota tersebut. Dirinya dan para kepala desa pun cukup resah karena adanya halaman khusus Cipasera dan Pantura. Pada kenyataannya, kota itu belum terbentuk.

Dia juga menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada warga yang mendukung rencana pembentukan Kota Cipasera itu. Maka ditariklah kesimpulan bahwa pemberitaan Satelit News tidak ditulis berdasarkan fakta yang ada. Ini tentu melanggar kode etik jurnalistik dan aturan pers.

Contoh kasus lain yang belum lama terjadi adalah charity setting-an yang dilakukan stasiun TV One. Kronologisnya dimulai ketika Valencia Mieka Randa atau dikenal dengan nama Silly, seorang owner lembaga donor darah online. Silly, yang peduli akan nasib anak penderita gagal ginjal dan infeksi usus bernama Nando, mem-posting beberapa foto bocah 10 tahun itu di blog-nya, www.newsilly.com, disertai permohonan bantuan yang ditulis Silly.

Tak lama ia mendapat pesan di Blackberry Messanger-nya dari Fifie. Di situ Fifie mengusulkan agar Silly datang ke Sheraton dengan membawa artikel dan foto Nando, karena akan diadakan fashion show dan lelang baju serta charity show oleh para sosialita. Nantinya uang yang didapat akan diserahkan ke Silly langsung. Silly tentu sangat senang akhirnya Nando mendapat bantuan. Terlebih, acara itu akan disorot oleh TV One.

Silly menemui Nando dan ibunya keesokan hari. Mereka menerima tawaran Fifie dengan sangat terharu dan bahagia. Maka dengan susah payah Silly menuju tempat yang sudah ditentukan.

Setibanya di Sheraton, di hadapan para wartawan para sosialita itu mengatakan bahwa hasil acara charity malam itu akan disumbangkan kepada Nando untuk biaya pengobatannya. Silly menulis dalam blog-nya bahwa ia sangat terharu dan berulang kali mengucapkan rasa syukur pada Tuhan.

Lelang dimulai. Baju pertama yang dilelang adalah milik penyanyi dangdut Kristina. Baju itu laku seharga 100 juta rupiah. Baju kedua, laku dengan harga 90 juta rupiah, dibeli oleh modelnya sendiri.

Namun, setelah acara selesai, tak ada transaksi bantuan yang diberikan. Harusnya ia menerima uang hasil lelang itu, bukan?

“Saat saya tanya bagaimana prosedur pemberian bantuannya, barulah saya dikasih tahu kalau ternyata acara itu cuma setting-an,” begitu tulis Silly. Ia pun bertanya pada Fifie dan mendapat jawaban, “Jadi gini, acara charity yang tadi itu acara setting-an, buat acaranya TVOne. Nah nanti yang buat Nando, Mbak bikin BroadCast Message saja, nanti aku bantu carikan donatur,” tulis Silly lagi di blog-nya.

Silly menjadi sangat kesal. Ia marah pada Fifie karena tidak diberi tahu dari awal. Ia merasa membuang-buang waktu. Terlebih acara itu hanyalah setting-an, yang tentunya merugikan pihak Silly dan Nando. Perempuan itu pun meminta dengan tegas agar  semua gambar yang memuat dirinya dan foto Nando untuk di-cut.

Tak lama, Silly mendapat kabar dari wartawan TV One bernama Rey, yang mengatakan bahwa TV One setuju untuk meng-cut bagian tersebut karena menganggap itu adalah penipuan. Namun sayangnya, acara “Sosialite” ditayangkan di TVOne, tanpa meng-cut bagian yang diinginkan Silly.

Ketika dikonfirmasi, Fifie membantah acara itu adalah setting-an. Menurutnya, Silly telat datang ke acara amal itu sehingga uang hasil amal diserahkan kepada pihak lain yang juga membutuhkan.

Meskipun TV One telah membantah bahwa itu rekayasa, tampaknya hingga saat ini masyarakat masih berpihak pada kekecewaan Silly. Kebanyakan dari mereka meninggalkan stasiun TV terkait. Bahkan di situs Facebook telah dibuat grup “Boikot TV One” karena terjadinya charity setting-an itu. Di grup itu, mereka terus-terusan menyebut TV One sebagai media abal-abal.

Jika ditilik lebih jauh, kasus demi kasus itu lahir dari kebebasan pers yang dianut negeri ini. Hanya dengan modal 5 sampai 10 juta, kita bisa saja mendirikan media cetak. Tanpa memperdulikan jauh ke depan. Ini salah satu pemicu utama lairnya media abal-abal, wartawan ‘bodrex’, yang akhirnya memunculkan aneka masalah terkait pencemaran nama baik, berita palsu, atau seperti yang barusan kita baca, charity setting-an, yang sangat merugikan. Artinya, kini bahkan tidak hanya media cetak yang abal-abal, media elektronik pun bisa disebut abal-abal.

Untuk menghindarinya, diperlukan kesadaran dari semua pihak. Tidak hanya oleh media itu sendiri, tapi juga masyarakat luas. Masyarakat harus bisa menyaring terlebih dahulu mana media yang profesional dan yang tidak berkompeten. Dari situ, masyarakat menjadi pengontrol dan pengawas pelaksanaan pemberitaan media.

Media massa sendiri harusnya bijak menggunakan haknya. Karena itulah sebenarnya hakikat demokrasi: bebas, tapi bertanggung jawab. Mereka tidak semata-mata bebas mendirikan perusahaan media massa. Tapi mereka juga bertanggung jawab atas konten berita dan kelangsungan hidup media itu. 

oleh: Inasshabihah

Komentar

Postingan Populer