Kami duduk melingkar. Membicarakan
soal hal-hal genting terkait agama dan hukum. Bagaimana ternyata aturan-aturan
hukum dibuat justru mempersempit keterbukaan dan perilaku toleransi beragama.
Lebih jauh, disinggung pula soal kepentingan politik yang bercampur baur dalam
penegakan hukum agama di Indonesia. Selama ini, yang terlihat menonjol sebagai
menteri urusan keagamaan adalah seorang muslim. Aku sendiri kurang melihat
sosok Kristen atau Katolik atau Hindu atau Budha yang menonjol di kementerian
keagamaan itu.
Sejauh ini, aku sejalan dengan isi
diskusi. Kami harus menegakkan kebebasan beragama dengan maksimal, dan dimulai
dari hukum beragama di bangsa ini. Bahwa kami bebas memeluk agama dan
kepercayaan masing-masing masih perlu perhatian khusus, mengingat tindakan
diskriminatif masih luas bahkan di Jawa, yang notabene lebih terbuka dengan
modernisasi termasuk modern dalam berpikir.
Hingga akhirnya waktu shalat Maghrib tiba.
Ah, aku mulai terusik. Dari semua kepala yang ada, hanya satu dua tiga hingga enam yang solat bersama.
Lagi-lagi, dari banyaknya pemuda
muslim, ada dari organisasi islam, ada mahasiswi perguruan negeri Islam ternama,
mereka asyik duduk makan malam hingga acara dilanjutkan. Tak nampak mereka
shalat di mushala bersamaku. Aku yakin betul, hanya ada satu mushala di kafe tersebut. Bahkan sebenarnya bukan mushala, hanya lorong kecil dan kurang nyaman untuk ibadah.
Lalu, aku benar-benar merasa nyeri. Nampaknya, rasa
toleransi itu justru membuat mereka hampir-hampir melupakan siapa mereka. Ini
bukan sembarang judge. Jangan pula
biarkan aku men-judge demikian,
melihat perilaku mereka.
Mereka menyuarakan diri membawa
agama, Islam. Nama mereka pun nama-nama bernafas ke-Arab-an, Islam. Mereka
menyebut asalnya dari suatu instansi atau organisasi muslim, Islam. Namun
mendadak aku muak. Aku muak dengan mereka yang berkumpul, menyatakan
kemuslimannya, menunjukkan kepahamannya atas Islam, membawakan ayat-ayat,
menunjukkan rasa toleransi yang besar, namun kemudian mereka meninggalkan satu
kewajiban dasar dari identitas yang mereka bawa. Toleransi harusnya tidak
begini. Tidak membuat keyakinanmu luntur. Ini bukan sembarang perkara. Solat
itu tiang agama, salah satu perintah pertama dari Allah yang langsung diberikan ke Nabi sehingga ia istimewa. Meninggalkannya dengan sengaja
maka kamu lepas dari perlindungan Allah, begitu ancam-Nya. Solat merupakan keajaiban ibadah bagiku, karena wudhu-nya bermakna istimewa, sama seperti solatnya.
Ketika membersihkan wajah, aku lirih berdoa memohon ampun atas apapun dosa yang kubuat lewat mata.
Ketika berkumur, aku memohon ampun atas segala kata-kata kotor dan kasar yang kerap kudesiskan.
Ketika membasuh telinga, aku memohon ampun atas segala hal buruk yang seharusnya tidak kudengar.
Ketika menyiram tangan dan kaki, aku memohon ampun atas segala hal yang harusnya tak kusentuh dan kulakukan, serta segala tempat yang harusnya kakiku tak melangkah ke sana.
Solat dalam Islam begitu istimewa.
Tidak, aku
tidak marah. Aku hanya kecewa. Begitu semangatnya saat menggelar masalah keberagaman dan bencana kemanusiaan beragama di banyak titik di negara ini, namun begitu saja mereka melupakan satu poin penting dalam beriman.
"Jangan sampai toleransi mengubah keyakinan jadi keraguan." Tapi ini bener. Keraguan memang akan membawamu pada kepastian-kepastian lain, tapi juga bisa membawamu jauh dari kebenaran.
Mereka bisa jadi sekularis.
Atau mungkin menganut mazhab "jamak shalat sebisa mungkin".
Atau mazhab lain yang mungkin mereka buat sendiri.
Komentar
Posting Komentar