Langsung ke konten utama

Unggulan

CATATAN EMPAT TAHUN PERNIKAHAN: "Aku Benar pun Tetap Salah"

Bulan Juni lalu, menjelang ulang tahun pernikahan kami, di tengah momen berbalas chat dengan suami, aku baru menyadari sesuatu. "YANG! Kita tuh udah empat tahun nikah, lho. Kirain baru tiga tahun." Aku punya patokan khusus untuk memudahkan menghitung pernikahan kami. Tahun pertama menikah itu memorable karena aku harus operasi pengangkatan miom. Yes, halo sobat SC. Sayatan lukaku tentu enggak ada apa-apanya dibanding kalian, tapi sama-sama berbekas dan sering gatel atau nyeri kalau kecapekan. Tos. Sisanya maka tinggal ditambah usia Rawi, yang lahir di tahun kedua pernikahan kami.  Ada yang bilang, pernikahan itu yang penting komunikasi. Yes, penting banget memang. Seratus persen aktivitas pernikahan itu sangat terkait dengan komunikasi. Kran kamar mandi rusak, ngomong. Perlu belanja ini itu, ngomong. Pengen gantian momong anak, ngomong. Semua kesepakatan dalam rumah tangga, tentang ke mana anak akan disekolahkan, tentang bagaimana mendidik anak sesuai usianya, tentang mainan...

Bagimu Islammu, Bagiku Islamku

Kami duduk melingkar. Membicarakan soal hal-hal genting terkait agama dan hukum. Bagaimana ternyata aturan-aturan hukum dibuat justru mempersempit keterbukaan dan perilaku toleransi beragama. Lebih jauh, disinggung pula soal kepentingan politik yang bercampur baur dalam penegakan hukum agama di Indonesia. Selama ini, yang terlihat menonjol sebagai menteri urusan keagamaan adalah seorang muslim. Aku sendiri kurang melihat sosok Kristen atau Katolik atau Hindu atau Budha yang menonjol di kementerian keagamaan itu.

Sejauh ini, aku sejalan dengan isi diskusi. Kami harus menegakkan kebebasan beragama dengan maksimal, dan dimulai dari hukum beragama di bangsa ini. Bahwa kami bebas memeluk agama dan kepercayaan masing-masing masih perlu perhatian khusus, mengingat tindakan diskriminatif masih luas bahkan di Jawa, yang notabene lebih terbuka dengan modernisasi termasuk modern dalam berpikir.

Hingga akhirnya waktu shalat Maghrib tiba.

Ah, aku mulai terusik. Dari semua kepala yang ada, hanya satu dua tiga hingga enam yang solat bersama.

Lagi-lagi, dari banyaknya pemuda muslim, ada dari organisasi islam, ada mahasiswi perguruan negeri Islam ternama, mereka asyik duduk makan malam hingga acara dilanjutkan. Tak nampak mereka shalat di mushala bersamaku. Aku yakin betul, hanya ada satu mushala di kafe tersebut. Bahkan sebenarnya bukan mushala, hanya lorong kecil dan kurang nyaman untuk ibadah.

Lalu, aku benar-benar merasa nyeri. Nampaknya, rasa toleransi itu justru membuat mereka hampir-hampir melupakan siapa mereka. Ini bukan sembarang judge. Jangan pula biarkan aku men-judge demikian, melihat perilaku mereka.

Mereka menyuarakan diri membawa agama, Islam. Nama mereka pun nama-nama bernafas ke-Arab-an, Islam. Mereka menyebut asalnya dari suatu instansi atau organisasi muslim, Islam. Namun mendadak aku muak. Aku muak dengan mereka yang berkumpul, menyatakan kemuslimannya, menunjukkan kepahamannya atas Islam, membawakan ayat-ayat, menunjukkan rasa toleransi yang besar, namun kemudian mereka meninggalkan satu kewajiban dasar dari identitas yang mereka bawa. Toleransi harusnya tidak begini. Tidak membuat keyakinanmu luntur. Ini bukan sembarang perkara. Solat itu tiang agama, salah satu perintah pertama dari Allah yang langsung diberikan ke Nabi sehingga ia istimewa. Meninggalkannya dengan sengaja maka kamu lepas dari perlindungan Allah, begitu ancam-Nya. Solat merupakan keajaiban ibadah bagiku, karena wudhu-nya bermakna istimewa, sama seperti solatnya.

Ketika membersihkan wajah, aku lirih berdoa memohon ampun atas apapun dosa yang kubuat lewat mata.

Ketika berkumur, aku memohon ampun atas segala kata-kata kotor dan kasar yang kerap kudesiskan. 
Ketika membasuh telinga, aku memohon ampun atas segala hal buruk yang seharusnya tidak kudengar.
Ketika menyiram tangan dan kaki, aku memohon ampun atas segala hal yang harusnya tak kusentuh dan kulakukan, serta segala tempat yang harusnya kakiku tak melangkah ke sana.

Solat dalam Islam begitu istimewa.


Tidak, aku tidak marah. Aku hanya kecewa. Begitu semangatnya saat menggelar masalah keberagaman dan bencana kemanusiaan beragama di banyak titik di negara ini, namun begitu saja mereka melupakan satu poin penting dalam beriman.

"Jangan sampai toleransi mengubah keyakinan jadi keraguan." Tapi ini bener. Keraguan memang akan membawamu pada kepastian-kepastian lain, tapi juga bisa membawamu jauh dari kebenaran.

Mereka bisa jadi sekularis. 

Atau mungkin menganut mazhab "jamak shalat sebisa mungkin".
Atau mazhab lain yang mungkin mereka buat sendiri.

Komentar

Postingan Populer