Murid pertamaku adalah seorang gadis
luar biasa yang sayangnya tak bisa melihat keindahan dunia. Mamanya mengatakan
bahwa ia membutuhkan guru bagi anaknya itu yang akan segera lulus SMP. Guru
menjadi dibutuhkan karena anak itu ingin melanjutkan ke SLB tingkat SMA.
Anaknya masih ingin belajar, sementara mamanya berpikir cukup saja untuk
mencari beasiswa dan hidup sederhana. Nama anak itu, Anna. Dia bukan hanya
cantik, tapi juga punya suara yang merdu.
Susahkah mengajari seorang tuna netra?
Untuk IPS dan IPA, kami belajar lewat
suara. Aku akan menebakinya suatu pertanyaan, ia menjawab. Jika ia tak tahu
jawabannya, ia akan membuka seikat kerta tebal berwarna cokelat yang tak punya
huruf kecuali braille. Aku
menyangsikan kemampuan buku itu, namun sangsiku runtuh saat Anna bisa menjawab
pertanyaan dengan tepat dengan buku itu.
Untuk soal matematika, Anna harus
berhitung. Ia mengeluarkan penggaris cokelat tebal, yang memiliki
lingkaran-lingkaran saja. Besar dan kecil. Beberapa. Sembari kubacakan soal, ia
akan menulis di kertas kosong dengan penggaris itu. Proses belajar kami pun
ramai dengan suara “cetak cetek cetik” dari penggarisnya. Hahaha.
Tuna netra bisa jadi karena
keturunan, ya? Soalnya ayah Anna juga demikian. Tapi aku mengaguminya. Ia
seorang lelaki yang luar biasa sabar. Beliau peduli dengan masa depan Anna.
Pekerjaannya: memijat.
“Buta bukan berarti nggak bisa
ngapa-ngapain, Mbak! Bukan berarti nggak bisa mikir!” ujarnya suatu waktu saat
kami makan siang di rumahnya yang super sederhana.
Bersyukur sekali rasanya bisa punya
kesempatan mengajar Anna. Jadi belajar banyak mengenai anugerah Tuhan. Anna
bisa saja iri pada semua orang yang dianugerahi penglihatan. Anna bisa saja
memaki Tuhan dan memilih untuk tidak mempercayainya. Anna bisa saja membenci
orang tuanya yang juga buta. Tapi dia tidak lakukan itu. Dia seperti tidak
sadar bahwa dirinya memiliki satu kekurangan. Ia terus melesat. Belajar.
Berkarya. Dari sebulanan kami bersama, tak pernah sekalipun kudengar ia berkata kasar, membentak, atau menaikkan nada bicaranya. Lembut sekali.
Begitulah.
Uhuk.
Kedua, ini yang super singkat. Hanya
bertahan berapa hari karena ternyata kesibukan lain yang nggak bisa
dikalahkan oleh apapun *tsah*.
Aku mengalami masa ingin coba-coba. Salah
satunya mencoba mengajar les. Les pelajaran umum. Murid-murid pertamaku ramai
bukan main. Ditengah mengerjakan PR, mereka saling melempar kertas ke ruangan
lain. Sungguh mengetes kesabaran *senyum samar*
Suatu malam, menjelang pulang, ada
dua anak ajarku yang baru tiba. Keduanya kakak adik yang diistimewakan oleh
Koko, bahkan Koko sendiri yang antar jemput mereka ke tempat les. Aku diminta
Koko mengajar mereka. Eh, ada yang kelewatan. Well, di daerah Gading Serpong
kamu akan menemukan banyak wajah Tionghoa. Termasuk Koko tempatku mengajar les.
Aku mengajari duo kakak-beradik ini
Bahasa Inggris. Melelahkan, karena mereka tidak berhenti naik ke meja belajar,
menghentak-hentak, berteriak, dan lebih suka bercerita soal apapun diluar
pelajaran.
“Cici muslim, ya?” tanya si Kakak.
“Iya,” kataku.
“Soalnya cici pake kerudung.”
“Hahaha…”
“Berarti Cici nggak suka anjing,
dong?”
“Wah, kata siapa? Cici malah suka
banget sama anjing. Kamu punya anjing?”
“Punya! Itu tadi di mobil aku ada
anjingnya lho, Cici!”
“Eh Ce, ntar cici kita masukin mobil aja sama
anjing kita! Cici pasti takut!” ujar si Adik.
“Ah jangan, dong. Cici takut anjing,
nih.”
“Kenapa takut, Ci? Katanya suka!”
Koko membuka pintu. “Ayo belajar yang
bener!”
Sontak kami diam.
Hahahahaha. Momen yang lucu. Selesai
belajar Bahasa Inggris, si kakak keluar bermain. Si Adik mengeluarkan bukunya.
Kupandang judul buku itu. Hmm, buku agama.
“Kamu ada PR?”
“Enggak, Ci. Ada ulangan Agama besok
jadi harus hafalin ini,” ujarnya sambil menunjuk deretan tulisan.
Koko masuk, “Nas, itu dia besok
ulangan Agama, tolong kamu bantu ngafalin, ya.”
“Oh, oke siap, Ko.”
Koko terdiam di pintu, aku melihat ke
arahnya. “… Nggak papa kan, Nas?” kata Koko.
Aku tersenyum lebar. Yah elah. “Nggak
papa dong, Ko. Santai aja.”
Menit berikutnya kami habiskan dengan
melafalkan tahap-tahap ibadat, aku lupa persisnya apa, lalu juga satu hal soal
Ekaristi, dan sejenisnya. Diulang berkali-kali hingga si Adik bisa mengulangi
perkataanku, lalu kelas selesai. Bukan berarti aku berhenti mengajar karena
persoalan Agama ini, tapi seperti kataku, susah ternyata menyisihkan satu jam
waktu di sore hari untuk mengajar. Meski begitu, telinga rasanya senang-senang gimana saat mereka memanggilku "Cici".
:))
Pelajaran berharga bagiku malam itu,
bahwa kamu tidak bisa untuk menutup diri dari perbedaan. *kedip*
Ketiga, ini yang super membekas. Aku
diberi kesempatan mengajar di TPQ tempatku dulu belajar mengaji. TPQ Miftahul
Huda. Senangnya bukan main. Di TPQ ini dulu aku mengeja satu per satu huruf
hijaiyah. Mengenal Ibnu Sina, Abu Bakar Ash-Shidiq, Zaid bin Harits, Karun,
Bukhari dan Muslim, serta nama-nama lain yang zaman sekarang makin asing.
Mengajar mengaji itu menyenangkan.
Melihat wajah-wajah inosen mendongak padaku, itu menyenangkan. Memang ada yang menunjukkan ekspresi mengantuk, ada yang takut, deg-degan, dan
malu, ada juga yang terus-menerus menatapku menunggu dipanggil namanya untuk
maju ke depan dan praktek mengaji. Lebih menyenangkan lagi, harapan bahwa nantinya ilmu ini membawa mereka mengenal Allah. Aih.
Apa saja yang dilakukan di sana?
Mereka belajar melafalkan satu per
satu huruf hijaiyah. Ada juga yang sudah sampai level membaca beberapa huruf
dalam satu kata. Ada yang sudah sampai satu kalimat. Kami belajar dari buku
Iqra’. Selain itu, mereka berlatih menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an. Biasanya
ini seminggu sekali.
Yang membuat mereka sontak nyengir adalah saat diminta menggambar kaligrafi. Mereka tidak hanya berkutat dengan buku Iqra’
dan pensil atau penunjuk bacaan Qur’an, tapi juga buku gambar dan pensil
warna-warni. Aku akan menulis kaligrafi di tembok –iya, kami nggak pakai papa
tulis, melainkan tembok bersemen biasa- lalu mereka mengikutinya.
Kami berdoa sebelum dan sesudah
memulai pelajaran. Ibu atau kakak atau pembantu mereka menunggu dari awal
hingga selesai, entah di dalam ruangan mengaji, di luar, atau bahkan di samping
mereka. Ada anak lelaki berwajah putih bersih yang terus-terusan ditemani pembantunya, bernama Zainal, namun sangat
pemalu, bahkan selalu kuminta mengulang ejaannya saat kami mengaji Iqra’ karena
aku tak mendengar huruf yang ia ucapkan. Ada si lucu, sebut saja Dimas -karena aku lupa namanya-, dengan wajah gelap
dan perawakan kurus, dekil, tapi percaya diri dalam mengaji.
Suatu kali kala salat tarawih di kampung, aku melihat Dimas bersama ibunya. Ia menghampiriku,
mengecup punggung tanganku dan berkata pada ibunya, “INI GURU NGAJIKU, BU!”.
Seketika dadaku dipenuhi sesak. Seneng-seneng bangga. Aku.. seorang guru? Wow.
Komentar
Posting Komentar