Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Selamat hari guru juga, untukku.

Murid pertamaku adalah seorang gadis luar biasa yang sayangnya tak bisa melihat keindahan dunia. Mamanya mengatakan bahwa ia membutuhkan guru bagi anaknya itu yang akan segera lulus SMP. Guru menjadi dibutuhkan karena anak itu ingin melanjutkan ke SLB tingkat SMA. Anaknya masih ingin belajar, sementara mamanya berpikir cukup saja untuk mencari beasiswa dan hidup sederhana. Nama anak itu, Anna. Dia bukan hanya cantik, tapi juga punya suara yang merdu.

Susahkah mengajari seorang tuna netra?

Untuk IPS dan IPA, kami belajar lewat suara. Aku akan menebakinya suatu pertanyaan, ia menjawab. Jika ia tak tahu jawabannya, ia akan membuka seikat kerta tebal berwarna cokelat yang tak punya huruf kecuali braille. Aku menyangsikan kemampuan buku itu, namun sangsiku runtuh saat Anna bisa menjawab pertanyaan dengan tepat dengan buku itu.

Untuk soal matematika, Anna harus berhitung. Ia mengeluarkan penggaris cokelat tebal, yang memiliki lingkaran-lingkaran saja. Besar dan kecil. Beberapa. Sembari kubacakan soal, ia akan menulis di kertas kosong dengan penggaris itu. Proses belajar kami pun ramai dengan suara “cetak cetek cetik” dari penggarisnya. Hahaha.

Tuna netra bisa jadi karena keturunan, ya? Soalnya ayah Anna juga demikian. Tapi aku mengaguminya. Ia seorang lelaki yang luar biasa sabar. Beliau peduli dengan masa depan Anna. Pekerjaannya: memijat.

“Buta bukan berarti nggak bisa ngapa-ngapain, Mbak! Bukan berarti nggak bisa mikir!” ujarnya suatu waktu saat kami makan siang di rumahnya yang super sederhana.

Bersyukur sekali rasanya bisa punya kesempatan mengajar Anna. Jadi belajar banyak mengenai anugerah Tuhan. Anna bisa saja iri pada semua orang yang dianugerahi penglihatan. Anna bisa saja memaki Tuhan dan memilih untuk tidak mempercayainya. Anna bisa saja membenci orang tuanya yang juga buta. Tapi dia tidak lakukan itu. Dia seperti tidak sadar bahwa dirinya memiliki satu kekurangan. Ia terus melesat. Belajar. Berkarya. Dari sebulanan kami bersama, tak pernah sekalipun kudengar ia berkata kasar, membentak, atau menaikkan nada bicaranya. Lembut sekali.

Begitulah.

Uhuk.

Kedua, ini yang super singkat. Hanya bertahan berapa hari karena ternyata kesibukan lain yang nggak bisa dikalahkan oleh apapun *tsah*.

Aku mengalami masa ingin coba-coba. Salah satunya mencoba mengajar les. Les pelajaran umum. Murid-murid pertamaku ramai bukan main. Ditengah mengerjakan PR, mereka saling melempar kertas ke ruangan lain. Sungguh mengetes kesabaran *senyum samar*

Suatu malam, menjelang pulang, ada dua anak ajarku yang baru tiba. Keduanya kakak adik yang diistimewakan oleh Koko, bahkan Koko sendiri yang antar jemput mereka ke tempat les. Aku diminta Koko mengajar mereka. Eh, ada yang kelewatan. Well, di daerah Gading Serpong kamu akan menemukan banyak wajah Tionghoa. Termasuk Koko tempatku mengajar les.

Aku mengajari duo kakak-beradik ini Bahasa Inggris. Melelahkan, karena mereka tidak berhenti naik ke meja belajar, menghentak-hentak, berteriak, dan lebih suka bercerita soal apapun diluar pelajaran.

“Cici muslim, ya?” tanya si Kakak.

“Iya,” kataku.

“Soalnya cici pake kerudung.”

“Hahaha…”

“Berarti Cici nggak suka anjing, dong?”

“Wah, kata siapa? Cici malah suka banget sama anjing. Kamu punya anjing?”

“Punya! Itu tadi di mobil aku ada anjingnya lho, Cici!”

“Eh Ce, ntar cici kita masukin mobil aja sama anjing kita! Cici pasti takut!” ujar si Adik.

“Ah jangan, dong. Cici takut anjing, nih.”

“Kenapa takut, Ci? Katanya suka!”

Koko membuka pintu. “Ayo belajar yang bener!”

Sontak kami diam.

Hahahahaha. Momen yang lucu. Selesai belajar Bahasa Inggris, si kakak keluar bermain. Si Adik mengeluarkan bukunya. Kupandang judul buku itu. Hmm, buku agama.

“Kamu ada PR?”

“Enggak, Ci. Ada ulangan Agama besok jadi harus hafalin ini,” ujarnya sambil menunjuk deretan tulisan.

Koko masuk, “Nas, itu dia besok ulangan Agama, tolong kamu bantu ngafalin, ya.”

“Oh, oke siap, Ko.”

Koko terdiam di pintu, aku melihat ke arahnya. “… Nggak papa kan, Nas?” kata Koko.

Aku tersenyum lebar. Yah elah. “Nggak papa dong, Ko. Santai aja.”

Menit berikutnya kami habiskan dengan melafalkan tahap-tahap ibadat, aku lupa persisnya apa, lalu juga satu hal soal Ekaristi, dan sejenisnya. Diulang berkali-kali hingga si Adik bisa mengulangi perkataanku, lalu kelas selesai. Bukan berarti aku berhenti mengajar karena persoalan Agama ini, tapi seperti kataku, susah ternyata menyisihkan satu jam waktu di sore hari untuk mengajar. Meski begitu, telinga rasanya senang-senang gimana saat mereka memanggilku "Cici".

:))

Pelajaran berharga bagiku malam itu, bahwa kamu tidak bisa untuk menutup diri dari perbedaan. *kedip*

Ketiga, ini yang super membekas. Aku diberi kesempatan mengajar di TPQ tempatku dulu belajar mengaji. TPQ Miftahul Huda. Senangnya bukan main. Di TPQ ini dulu aku mengeja satu per satu huruf hijaiyah. Mengenal Ibnu Sina, Abu Bakar Ash-Shidiq, Zaid bin Harits, Karun, Bukhari dan Muslim, serta nama-nama lain yang zaman sekarang makin asing.

Mengajar mengaji itu menyenangkan. Melihat wajah-wajah inosen mendongak padaku, itu menyenangkan. Memang ada yang menunjukkan ekspresi mengantuk, ada yang takut, deg-degan, dan malu, ada juga yang terus-menerus menatapku menunggu dipanggil namanya untuk maju ke depan dan praktek mengaji. Lebih menyenangkan lagi, harapan bahwa nantinya ilmu ini membawa mereka mengenal Allah. Aih.

Apa saja yang dilakukan di sana?

Mereka belajar melafalkan satu per satu huruf hijaiyah. Ada juga yang sudah sampai level membaca beberapa huruf dalam satu kata. Ada yang sudah sampai satu kalimat. Kami belajar dari buku Iqra’. Selain itu, mereka berlatih menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an. Biasanya ini seminggu sekali.

Yang membuat mereka sontak nyengir adalah saat diminta menggambar kaligrafi. Mereka tidak hanya berkutat dengan buku Iqra’ dan pensil atau penunjuk bacaan Qur’an, tapi juga buku gambar dan pensil warna-warni. Aku akan menulis kaligrafi di tembok –iya, kami nggak pakai papa tulis, melainkan tembok bersemen biasa- lalu mereka mengikutinya.

Kami berdoa sebelum dan sesudah memulai pelajaran. Ibu atau kakak atau pembantu mereka menunggu dari awal hingga selesai, entah di dalam ruangan mengaji, di luar, atau bahkan di samping mereka. Ada anak lelaki berwajah putih bersih yang terus-terusan ditemani pembantunya, bernama Zainal, namun sangat pemalu, bahkan selalu kuminta mengulang ejaannya saat kami mengaji Iqra’ karena aku tak mendengar huruf yang ia ucapkan. Ada si lucu, sebut saja Dimas -karena aku lupa namanya-, dengan wajah gelap dan perawakan kurus, dekil, tapi percaya diri dalam mengaji.

Suatu kali kala salat tarawih di kampung, aku melihat Dimas bersama ibunya. Ia menghampiriku, mengecup punggung tanganku dan berkata pada ibunya, “INI GURU NGAJIKU, BU!”. 


Seketika dadaku dipenuhi sesak. Seneng-seneng bangga. Aku.. seorang guru? Wow.

Komentar

Postingan Populer