Aku anak TK
Busthanul Athfal namanya
Di Semarang kotanya, Kauman Timur tempatnya
Bu Tin, Bu Kus, Bu Mar gurunya.
(lagu TK Busthanul Athfal,l, Kauman)
Itu lagu sekolahan yang masih aja
nggak bisa keluar dari otak. Hymne Guru
juga nggak bisa lupa, karena tiap Senin di SMP aku jadi pemain pianika,
mengiringi lagu Indonesia Raya,
Mengheningkan Cipta, juga Hymne Guru.
Masa-masa kece dalam hidup. Masa SMP. Banyak guru luar biasa yang mengubah
hidupku, kukenal di SMP. Siapa mereka?
Anyway, aku menjalani pendidikan sejak
TK hingga kini di bangku kuliah. Ada banyak guru dalam hidupku. Semuanya berjasa, tapi tak semuanya memberi pengaruh dalam hidupku.
Bu Ratna. Yang satu ini tidak bisa
lupa meski beliau mungkin lupa siapa aku. Nama lengkapnya, Dra. Listyowati
Ratna Dzurrohmah. Tuh, hafal kan! Bu Ratna guru Agama di SMP Negeri 3 Semarang.
Guru Agama terbaik yang pernah ada. Awalnya aku nggak menyadari itu, mungkin karena awalnya
aku (hanya) naksir anak lelakinya *pft* makanya aku sering mencoba menarik perhatian Bu
Ratna. Dari situ, aku malah makin dekat dengan Bu Ratna, bukan anaknya.
*yasudahlah*
Mengenang Bu Ratna, berarti mengenang
masa-masa pubertas jaman SMP. Bu Ratna nggak hanya ngajarin aku soal beribadah,
tapi juga soal keperempuanan, soal nilai-nilai hidup, soal sayang sama orang
tua, dan tentu… soal berkasih sayang sama lawan jenis.
Bertemu dengan Bu Ratna bagai kedamaian
di tengah kegersangan. Bu
Ratna
adalah setiap nomor dalam lembar hidupku saat SMP. Aku ikut lomba ini itu, aku juara, aku patah hati,
aku jatuh cinta, aku sebel sama ini itu, aku sedang kepikiran ini itu. She
knows everything. Maka aku nggak bisa klasifikasikan apa jasa dia, saking
banyaknya.
Waktu aku lagi merana-merananya, ini
puisi yang Bu Ratna tulis untukku:
"perempuan..
dunia adalah perasaannya
dunia adalah khayalannya
seluruh yg terucap, yg terpikir dan yg dia mainkan, adalah perasaannya..
lelaki..
dia mainkan peranannya dengan logika
perbedaan itulah yg tidak akan pernah pertemukan di satu titik antara adam dan
hawa
karena itu,
ku takkan lagi banyak berkhayal tentang lelaki,
kecuali sekedar tuk mengerti.
bukan tuk larut di lautan khayal yg tak bertepi
yg membuatku terdampar dan lara hati..
duhai perempuanku,
tatalah hatimu ketika kau berani pijakkan kakimu ke lembah asmara,
duri dan kerikil tajam akan melukaimu
dan saat kau terjatuh
kau harus kumpulkan energi tuk tak cemburu,
tuk tak takut kehilangan,
tuk rela ditinggalkan tanpa pesan,
dan untuk lainnya..
perempuanku,
jika kau tahu betapa pedihnya asmara,
kau pasti tak kan pernah mendekatinya.
perempuanku,
hanya dengan kekuatanmu sendiri kau bisa lupakan segala yang menyedihkanmu
kau tak sendiri,
di setiap perempuan pernah merasa hal yg sama sepertimu
anggap semua itu adalah kebaikan Allah yg berikan padamu,
walau terasa pahit.”
Aku rasa ini persembahan luar biasa
yang bisa diberikan seorang guru kepada anak didiknya. Bagiku Bu Ratna adalah
ibu, dan puisi ini membuatku percaya bahwa dia pun menganggapku seorang anak.
Pak Sugeng Budiarto. Guru Bahasa
Indonesia di SMP Negeri 3 Semarang. Nomor satu yang saya kagumi tentang beliau adalah kesabarannya yang tingkat dewa itu, menghadapi anak-anak begajulan macam kami yang tak mudah dirasuki kesantunan beliau.
Mengapa Pak Sugeng memberi pengaruh
dalam hidupku? Karena kalau tidak ada beliau, kalau tidak karena dorongannya agar
aku menulis; kalau tidak karena ia menerbitkan cerpen konyol yang kubuat untuk
anak Bu Ratna di majalah Master dulu; kalau bukan karena kesediaannya menerima
dan mengkritisi semua tulisan yang kubuat hingga menumpuk di meja kerjanya;
maka aku nggak akan nulis sampai sekarang. Nulis apa pun.
Aku nggak popular. Tapi nama
“Inasshabihah” cukup membuat aku dikenal lewat tulisan-tulisanku. Pak Sugeng sebagai pengurus majalah dinding dan majalah Master mengapresiasi apa pun yang kutulis. Cerpen, artikel umum, artikel rohani,
puisi, resensi novel, semua! Semangat menulis pun terus muncul. Honor menulis pun tidak main-main menurutku. Dengan honor itu, aku bisa jajan di KFC, membeli pernak-pernik menulis, dan sepatu baru. Honornya pun makin tahun makin naik. Kuanggap itu bonus.
Beliau begitu berarti, karena
“menulis” dan “penulis” kini menjadi pengisi kolom “hobi” dan “cita-cita”. Aku
kerajingan menulis. Kalau sudah merangkai ide atau perasaan ke kata dan
kalimat, rasanya hasrat terpenuhi meski belum sepenuhnya. Lomba menulis pun aku
ikuti. Esai, cerpen, karya ilmiah. Menang kalah nggak masalah. Yang penting aku
berbuat. Organisasi kepenulisan pun aku ikuti, bahkan dipilih memimpinnya meski
hanya setahun.
Semua tetek bengek soal: menulislah, maka kau mengubah dunia atau
mengubah peradaban adalah dengan menulis tak
hanya menjadi quotes biasa bagiku
karena ia akan langsung mengingatkanku pada mengapa
aku menulis dan jawabannya adalah karena
seorang Sugeng Budiarto.
Kalau benar aku jadi penulis, atau aktivitas apapun yang berhubungan dengan merangkai kalimat, maka
di tiap kalimatku ada doa untuk Pak Sugeng. Semoga beliau selalu dirahmati
Allah. Aku yakin beliau tahu bahwa usahanya padaku tak sia-sia. Amin.
Suyitno. Atau, Pak Yit. Dewa
Matematika dari SMA Negeri 5 Semarang. Osh! Guru ini berhasil membuatku makin
benci dan jatuh cinta pada matematika dalam satu waktu. Selama ini, matematika
yang aku kenal, ya… begitu! Tambah, kurang, bagi, pangkat, x y, dan bala kurawanya. Tapi Pak Yit tidak mengarahkan kami peduli
pada angka. Melainkan proses. Di proses itu beliau main. Mengajari kami banyak
hal. terutama untuk berani berpendapat, berani maju ke depan kelas untuk
mengerjakan, berani bertanggung jawab atas apa yang kita tulis, dan
berani-berani lainnya.
Kami akan menunduk takut di kelas
tiap kali beliau bertanya “Siapa yang mau jawab?” tapi di luar kelas, kami akan
berebut menyapa beliau, berlomba memberi senyuman termanis, lalu mencium
tangannya. Ironi, memang. Tapi justru tak terlupakan. Yeah, Pak Yit memang terkenal berkarisma. *kyaa*
Kami menyayangi Pak Yit. Meksi
terkesan killer, di luar kelas beliau
begitu santai. Kebetulan jaman itu kartu UNO sedang booming-booming-nya. Kami bisa main dimana pun, termasuk di teras
sekolah, berdekatan dengan ruang kantor Kepala Sekolah dan guru-guru Kabid. Ya,
kami memang kurang ajar sekaligus nekat. Tiap guru melintas, kami buru-buru
menyembunyikan kartu UNO itu. Tapi kalau yang melintas Pak Yit, maka tenang
saja, beliau tak akan menegur apalagi memarahi. Yang ada malah kita duduk dan ngobrol bareng.
Pernah suatu kali, aku melihatnya
merokok terus-terusan. Saat itu kami tengah duduk ngobrol di teras sekolah. Lalu
kutegur, “Pak, lebih baik berhenti merokok, karena rokok mengandung ribuan racun
mematikan.” Kata beliau, “Saya olahraga, kok. Kan yang penting, tetap olahraga.” Saya terdiam. “Tapi tetep aja, Pak. Namanya racun. Apalagi yang dihirup
nggak cuma sekali dua kali dalam sehari.”
Beliau lalu menunjuk ke luar gerbang
sekolah. Di sana, di pinggir jalan raya, ada penjaja cimol, minuman ringan, cilok, dan duduk anak-anak
sekolahan di dekatnya, menunggu jemputan atau nongkrong sambil jajan.
“Racun yang kamu hirup di sana, lebih
berbahaya. Asap knalpot, bis, mobil, motor, truk. Itu, ada bahaya yang lebih
nyata. Yang penting tetap olahraga.”
Pak Yit berharga bagi kami. Saking ngefansnya, kami jadi mengenali mobil Pak Yit. Menghafalkannya
dan berlagak sok tahu tiap mobil itu berjalan masuk ke pelataran parkir. “Itu
mobil Pak Yit! Ih mobil Pak Yiiiit!”
Selain Pak Yit, guru SMA N 5 yang
juga berharga bagiku adalah Pak Mulyani M. Noor. Lagi-lagi, Guru Bahasa Indonesia.
Kayaknya aku memang punya chemistry sama guru Bahasa Indonesia, sampai Pak Ote sekalipun, guru Bahasa Indonesia di UMN, yang memegang rekor sebagai Guru yang Paling Lancar Menyebut Nama 'Inasshabihah' dalam Sekali Baca Bahkan dengan Tajwid yang Tepat!
"Gara-gara" Pak Mul, aku diangkat jadi Pemimpin Redaksi majalah Citra Lima. Dari
beliau aku kenal Chairil Anwar, Ajip Rosidi. Ngobrol dengan beliau nggak melulu
soal tulis-menulis, tapi juga soal agama. Beliau orang NU, by the way. Plat mobilnya pun ada tulisan “NU”-nya. Hahaha. Orangnya
nyentrik dan selalu bikin tertawa. Kami menyayangi Pak Mul.
Ekspresi yang selalu beliau
keluarkan, membuatku menduga beliau orang teater. Satu dua kali, aku diberinya
naskah drama teater. Itu pertama kalinya aku kenal seni lebih dari menulis atau
musik.
Selamat
hari guru, untuk guru-guru luar biasaku. Kalian semua mengajari lebih dari yang
perlu kutahu. Semoga Allah merahmati. Kalian luar biasa!
Komentar
Posting Komentar